Sidang lanjutan kasus dugaan kekerasan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro digelar hingga tadi malam. Adik kandung almarhum dr Aulia Risma, Nadia, memberikan kesaksian terkait perlakuan yang diterima kakaknya semasa hidup.
Sidang pemeriksaan saksi kasus yang menewaskan mahasiswa PPDS Anestesi Undip, dokter Aulia Risma, itu dilaksanakan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (4/6/2025).
Sidang yang dipimpin hakim ketua Djohan Arifin itu menghadirkan enam saksi yaitu Nusmatun Malinah selaku ibu dokter Aulia, Nadia selaku adik dokter Aulia, Akwal dan Nur Diah selaku kerabat dokter Aulia, serta Yunan dan Pamor Nainggolan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI..
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam persidangan, Nadia menyebut kakaknya mengalami eksploitasi fisik dan mental sejak awal diterima di PPDS Anestesi Undip pada Mei 2022.
Nadia menyebut terdakwa Zara Yupita Azra, senior sekaligus kakak pembimbing (kambing) korban, yang kerap memberikan perintah-perintah pribadi di luar kewajaran.
"Baru bulan Mei, belum mulai perkuliahan, almarhum sudah disuruh mengerjakan tugas pribadi Bu Zara. Bahkan disuruh untuk tidak menyampaikan ke siapapun. Mulai dari tesis, jurnal, disuruh nulis pasal anestesi," kata Nadia di PN Semarang, Rabu (4/6/2025).
Menurut Nadia, kakaknya juga disuruh mengerjakan permintaan-permintaan pribadi seperti membelikan parfum, membeli makan dan kopi, hingga membayar booking hotel untuk acara perpisahan senior.
"Sebetulnya curhatnya banyak sekali. Mayoritas adalah masalah kesalahan dari pelayanan terhadap senior. Misal telat memberikan makan, salah membelikan rokok, Bu Zara pasti akan menegur dengan cara dimarahi dan dimaki," ujarnya.
"Bukan hanya dimarahi biasa, tapi dimaki-maki dengan dibilang 'kamu lelet, gila, anestesi itu tesnya di sini'. Kalau misal kamu nggak bisa ngikutin kamu mati," imbuh Nadia.
Menurut Nadia, tekanan psikologis tersebut membuat kakaknya akhirnya menjalani terapi ke psikolog sejak November 2022.
"Karena merasa tertekan dengan orderan Bu Zara yang sangat di luar pelayanan," tuturnya.
Selain tugas-tugas pribadi, dokter Aulia juga diberi tanggung jawab menjadi bendahara angkatan. Namun menurut Nadia, uang kas yang seharusnya untuk kepentingan angkatan justru banyak digunakan memenuhi permintaan senior.
"Uang tidak dipakai untuk angkatannya sendiri, tapi untuk memenuhi permintaan dari seniornya, katanya. Ketika Bu Zara minta siapkan makanan, menu makanan, bukan hanya Bu Zara, tapi 80 orang," kata Nadia.
Nadia juga mengatakan kakaknya sempat meminjam bantuan uang Rp 40 juta.
"Korban pernah minta uang saya salah satunya sebesar Rp 40 juta untuk bayar iuran, saya transfer ke rekening almarhum satu kali penfiriman," ungkapnya.
Nadia juga menyatakan bahwa tidak ada pemberitahuan dari pihak kampus tentang mahasiswa baru PPDS akan dibebani kewajiban non-akademik seperti memenuhi kebutuhan senior.
"Ketika di awal masuk tidak ada pemaparan dalam pendidikan harus mengeluarkan uang kas untuk memenuhi kebutuhan senior, terutama kebutuhan makan prolong. Awalnya almarhum hanya bayar semesteran, registrasi, dan biaya hidupnya sendiri. Tapi ternyata begitu masuk ada yang disuruh bayar seniornya," paparnya.
Sebelumnya diberitakan, sidang perdana kasus PPDS Undip telah dilaksanakan Senin (26/5/2025). Terdakwa Taufik Eko Nugroho selaku kaprodi dan Sri Maryani selaku staf yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.
(dil/dil)