Psikolog Sebut 'Pasal Anestesi' PPDS Undip Bisa Bikin Dokter Hilang Empati

Psikolog Sebut 'Pasal Anestesi' PPDS Undip Bisa Bikin Dokter Hilang Empati

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Selasa, 27 Mei 2025 17:56 WIB
Ilustrasi bullying
Ilustrasi bullying. Foto: Thinkstock
Semarang -

Kasus bullying atau perundungan dan pemerasan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Universitas Diponegoro (Undip) yang berujung kematian dr Aulia ramai disorot publik belakang. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang, Indra Dwi Purnomo, turut buka suara soal fenomena bullying tersebut.

Indra menilai, praktik yang dilakukan para oknum di kalangan PPDS Undip tersebut tidak hanya berdampak pada kesehatan mental korban, tapi juga bisa terbawa dalam praktik profesi, termasuk cara mereka menangani pasien kelak.

Diketahui, terdapat 'pasal anestesi', 'tata krama anestesi', hingga sistem kasta dalam lingkungan PPDS Anestesi Undip yang terkuak dalam sidang perdana ketiga terdakwa, Senin (26/5) kemarin. Sistem tersebut yang dinilai membuat junior harus tunduk patuh kepada senior tanpa memiliki pilihan lain.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sistem pendidikan yang salah, yang dilakukan oknum ini membuat nggak nyaman secara psikologis. Pelaku menjadi orang yang nggak sensitif terhadap penderitaan dan kesulitan yang dialami orang lain, sehingga dapat terus menerus melakukan hal yang sama tanpa rasa bersalah," kata Indra saat dihubungi, Selasa (27/5/2025).

ADVERTISEMENT
Dosen Fakultas Psikolog Universitas Katolik Soegijapranata, Indra Dwi Purnomo, S.Psi., M. Psi. Foto diunggah Selasa (27/5/2025).Dosen Fakultas Psikolog Universitas Katolik Soegijapranata, Indra Dwi Purnomo, S.Psi., M. Psi. Foto diunggah Selasa (27/5/2025). Foto: dok. pribadi/Indra Dwi Purnomo

Menurut dosen yang kerap menerbitkan karya ilmiah dengan topik isu psikologis dan sosial itu menjelaskan, jika seorang dokter tumbuh dalam lingkungan yang menormalisasi kekerasan atau eksploitasi, hal itu berbahaya karena berpotensi terbawa dalam relasi mereka dengan pasien.

"Jeleknya nanti jangka panjangnya, empatinya berkurang. Ketika dia menangani pasien, juga bisa berdampak," jelasnya.

Akademisi dan praktisi psikologi klinis itu menilai, sistem hierarki dalam dunia pendidikan atau pekerjaan memang wajar. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika hierarki itu berkembang menjadi hierarki sosial patologis yang dimanfaatkan untuk menindas.

"Karena korban ini nggak lagi dipandang sebagai seorang manusia yang setara, melainkan objek yang dieksploitasi," terangnya.

Indra yang juga merupakan Wakil Dekan III Fakultas Psikologi Unika tersebut menambahkan, siklus kekerasan seperti ini cenderung diwariskan. Senior yang dulunya mengalami perlakuan serupa bisa saja mereplikasi perilaku itu ke juniornya.

"Yang senior dulu kan pernah menjadi junior, mungkin dia menginternalisasi norma penindasannya. Mereka di situ belajar untuk bertahan dan naik tingkat," tuturnya.

"Mungkin maksudnya mendisiplinkan, membentuk mental, menguji loyalitas, tapi itu nggak logis tapi dilogis-logiskan ketika dilakukan dengan cara tidak tepat, menyimpang," lanjutnya.

Tak hanya berdampak pada korban, pelaku juga bisa mengalami gangguan psikologis. Indra menyebut mereka bisa mengalami ilusi keistimewaan alias sense of entitlement, yang membuat mereka merasa berhak memperlakukan orang lain semena-mena. Oleh karenanya, korban maupun pelaku dinilai harus memperoleh pendampingan.

"Menurut saya oknum ini perlu pendampingan karena mereka bisa saja selalu merasa diistimewakan, membuat tumbuh rasa entitlement yang kuat. Rasanya paling berhak, harus selalu istimewa," ujarnya.

Lebih lanjut, Indra mendorong agar reformasi sistem pendidikan kedokteran dilakukan secara serius. Ia menekankan pentingnya membongkar hidden curriculum atau sistem tak tertulis yang memungkinkan praktik kekerasan terjadi.

"Hidden curriculum ini perlu betul-betul melarang dengan tegas segala bentuk pemerasan, diskriminasi berbasis senioritas. Kemudian pelaporannya haris mudah diakses, sanksinya harus tegas. Termasuk ada batasan tanggung jawab junior agar nggak dieksploitasi," tegasnya.

Mekanisme pelaporannya, kata dia, juga harus mudah diakses dan dijamin kerahasiaannya, misalnya lewat platform digital anonim di luar fakultas. Indra juga menyarankan pendampingan psikologis rutin, baik bagi korban maupun pelaku.

"Trauma akibat dulu ada tekanan dari senior, itu perlu diintervensi supaya nantinya kalau ada oknum yang mau mereplikasi kita bisa setop dengan penanganan psikologis," tuturnya.

"Kemudian ngelatih mereka bagaimana sebenarnya senior-junior yang baik. Ngajarin ilmunya, karena dokter juga terbatas, sehingga bisa belajar dari seniornya," lanjutnya.

Indra berharap kasus PPDS ini bisa ditangani tuntas agar menjadi efek jera, sekaligus membuka jalan pembenahan sistemik demi mencegah kekerasan serupa terjadi kembali.

'Pasal Anestesi' Terungkap di Sidang

Arogansi senior di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) terungkap dalam sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (26/5), kemarin. Ada tiga tersangka dalam kasus bullying yang menyebabkan dr Aulia meninggal itu.
Selengkapnya di halaman selanjutnya
Terdakwa dr Taufik Eko Nugroho selaku eks Kaprodi PPDS Anestesi Undip dan Sri Maryani selaku staf administrasi menjalani sidang lebih dahulu. Setelah itu sidang dengan terdakwa Zara Yupita Azra, senior di PPDS Anestesi Undip.

Arogansi senior PPDS Anestesi Undip yang terangkum dalam 'pasal anestesi' itu diungkapkan jaksa penuntut umum (JPU) Sandhy Handika. Awalnya jaksa mengatakan Zara merupakan kakak pembimbing (kambing) mendiang dr Aulia.

Zara yang saat itu merupakan angkatan 76 PPDS Anestesi Undip, memberikan materi kepada Aulia dan teman-teman angkatan 77 PPDS Anestesi Undip melalui Zoom Meeting pada Juni 2022.
"Dalam pertemuan tersebut dr Zara Yupita Azra memberikan arahan dan perintah kepada angkatan 77 mengenai adanya sistem operan tugas berupa makan prolong, joki tugas, dan keperluan-keperluan lainnya," kata Shandy di PN Semarang, Senin (26/5).

Shandy juga menyampaikan pasal anestesi dan tata krama anestesi yang wajib dilaksanakan. Isi pasal anestesi tersebut yakni senior selalu benar, bila senior salah kembali ke pasal 1, hanya ada 'ya' dan 'siap', yang enak hanya untuk senior, bila junior dikasih enak tanpa tanya 'kenapa?' mencerminkan kondisi bahwa junior seharusnya tidak mendapatkan kemudahan, jangan pernah mengeluh karena semua pernah mengalami.


Ada pula tata krama anestesi yang harus ditaati mahasiswa. Mulai dari izin bila bicara dengan senior, semester nol hanya bisa bicara dengan semester satu, dilarang bicara dengan semester di atasnya, harus senior yang bertanya langsung, haram hukumnya semester nol bicara dengan semester dua tingkat ke atas.

"Terdakwa dr Zara Yupita menyampaikan, 'kalian sudah tahu pasal anestesi itu apa? Itu dihafalkan di pedoman itu paten di anestesi'," ujar Shandy.


Hide Ads