Jaksa Ungkap Isi 'Pasal Anestesi' PPDS Undip: Yang Enak Hanya untuk Senior

Jaksa Ungkap Isi 'Pasal Anestesi' PPDS Undip: Yang Enak Hanya untuk Senior

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Rabu, 28 Mei 2025 06:30 WIB
Sidang perdana terdakwa kasus bullying PPDS Undip dengan terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (26/5/2025).
Sidang perdana terdakwa kasus bullying PPDS Undip dengan terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (26/5/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Kejaksaan mengungkap adanya arogansi senior yang membudaya di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip). Praktik tersebut di kalangan lingkungan PPDS Undip dikenal dengan sebutan 'Pasal Anestesi'.

Hal itu diungkap oleh Jaksa Penuntut Umum Sandhy Handika dalam persidangan yang digelar di PN Semarang, Senin (26/5/2025). Adapun persidangan itu memiliki agenda pembacaan dakwaan terhadap salah satu terdakwa dalam kasus bullying dan pemerasan di lingkungan PPDS Anestesi Undip, Zara Yupita Azra.

Zara merupakan kakak pembimbing dr Aulia yang meninggal lantaran tak kuat dengan bullying di kampusnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Zara, yang saat itu merupakan angkatan 76 PPDS Anestesi Undip, memberikan materi kepada juniornya termasuk dokter Aulia melalui Zoom Meeting pada Juni 2022. Ia memaparkan operan tugas dari angkatan 76 ke 77 berupa penyediaan makan hingga joki tugas. Ia juga menyampaikan pasal anestesi dan tata krama anestesi yang wajib dilaksanakan.

"Zara Yupita Azra secara eksplisit menyampaikan dan memerintahkan agar angkatan 77 menghafal dan melaksanakan pasal anestesi dan tata krama anestesi yang bersifat dogmatis dan harus ditaati tanpa boleh dibantah," kata Shandy di dalam sidang yang digelar di PN Semarang, Senin (26/5/2025).

ADVERTISEMENT

Adapun isi dari pasal anestesi dan tata krama anestesi tersebut termasuk pernyataan-pernyataan yang menekankan hirarki kekuasaan absolut dari senior terhadap junior. Hal itu membuat junior terpaksa tunduk kepada senior.

"Pasal satu, senior selalu benar. Dua, bila senior salah kembali ke pasal 1. Tiga, hanya ada 'ya' dan 'siap'. Empat, yang enak hanya untuk senior. Lima, bila junior dikasih enak, tanya kenapa. Enam, jangan pernah mengeluh karena semua pernah mengalami. Tujuh, jika masih mengeluh, siapa suruh masuk anestesi?" urainya.

Selain 'Pasal Anestesi', jaksa mengungkap masih ada aturan lain yang disebut sebagai 'Tata Krama Anestesi'. Dalam tata krama itu, komunikasi antara senior dan junior diatur sedemikian rupa.

"Tata krama anestesi, satu, selalu sebutkan izin bila bicara dengan senior. Dua, semester nol hanya boleh bicara dengan semester satu. Dilarang keras bicara dengan semester di atasnya kecuali senior yang bertanya langsung. Tiga, biar kenal dengan senior atau teman akrab senior di IBS atau instalasi bedah sentral, haram hukumnya semester nol bicara dengan semester dua tingkat ke atas," sambungnya.

Shandy menyebut, Zara mendoktrin mahasiswa PPDS Anestesi Undip angkatan 77 untuk menerapkan pasal dan tata krama anestesi.

Kemudian, ada pula operan tugas bagi mahasiswa PPDS untuk menyediakan makan prolong, logistik, transportasi, hingga mengerjakan tugas ilmiah senior dan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).

"Bahwa makan prolong sendiri adalah istilah yang digunakan untuk makanan yang disediakan bagi seluruh pasien senior dan atau dokter penanggung jawab pelayanan DPJP yang masih bertugas di atas jam 18.00 WIB di RSUP dr. Kariadi," jelasnya.

"Proses penyediaan makanan makan prolong ini merupakan implementasi langsung dari doktrin yang enak hanya untuk senior dan bila junior dikasih enak (harus) tanya," lanjutnya.

Ia menyebut, penyediaan makan prolong adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai konsekuensi dari pasal anestesi dan tata krama anestesi. Seluruh biaya makan prolong dibayarkan angkatan 77 tanpa adanya kontribusi dari senior.

Berdasarkan bukti transfer dalam rekening mendiang Aulia dan teman seangkatannya, transfer dana untuk keperluan makan prolong ini dilakukan secara rutin selama kurang lebih 6 bulan. Uang yang terkumpul, total mencapai Rp 766 juta.

"Rekening atas nama Aulia Risma Lestari sebesar Rp 494.171.000. Dari rekening atas nama Bayu Ardibowo sebesar Rp 272.500.000. Total Rp 766 juta," ungkapnya.

Selain adanya penyediaan makan prolong tersebut, ada pula bukti transfer untuk membayar joki tugas untuk menyelesaikan tugas para senior. Dengan sistem joki tugas ini, angkatan 77 diwajibkan untuk membayar pihak ketiga yang akan mengerjakan tugas-tugas akademik senior mereka.

"Total (transfer pembayaran ke pihak ketiga) Rp 98.058.500," ungkapnya.

Diketahui, aksi kekerasan tersebut terungkap saat dr Aulia ditemukan tewas di kamar kosnya. Diduga dia mengakhiri hidupnya karena tidak kuat dengan tekanan di kampusnya.

Polisi lantas melakukan penyelidikan. Beberapa orang kemudian menjadi tersangka dalam kasus kekerasan dan pemerasan, termasuk Kepala Prodi PPDS Anestesi Undip.




(ahr/dil)


Hide Ads