Masyarakat di Dusun Kalitanjung, Banyumas, masih memegang teguh kepercayaan Islam Kejawen. Mereka mengamalkan Serat Menyuri akronim dari menuju sunyo ruri (menuju kesunyian yang abadi) yang konon merupakan kitab peninggalan Sunan Panggung.
Masyarakat Kejawen Kalitanjung ini tinggal di Dusun atau Grumbul Kalitanjung, Desa Tambak Negara, Kecamatan Rawalo, Banyumas. Total ada 180 warga yang masih menganut Islam Kejawen di dusun tersebut.
"Grumbul Kalitanjung ada 13 RT, sekitar 180 warga menganut Kejawen Naluri. Peninggalan leluhur yang kami pertahankan sebagai lelaku dalam menjalani kehidupan," kata Sesepuh Kejawen Kalitanjung, Muharto, saat ditemui detikJateng di rumahnya, Rabu (2/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laki-laki berusia 65 tahun itu menuturkan penganut Kejawen Kalitanjung selalu mengedepankan kebersamaan. Dalam hal menjalani beberapa ritual, kata dia, seluruh kebutuhan akan ditanggung bersama secara gotong royong.
"Di sini ritual banyak sekali, ada sedekah bumi bulan Sura, tutupan sadran, unggah-unggahan puasa, ruwatan ada macam-macam. Semua bareng-bareng (biayanya) gotong royong," ucapnya.
Muharto menyebut hal itu merupakan salah satu amalan dari ajaran mereka tentang menjaga hubungan baik antarsesama. Hal ini sesuai dengan yang tertulis dalam Serat Menyuri yang menjadi pedoman masyarakat Kejawen Kalitanjung.
"Kami mengamalkan kitab atau serat Menyuri, itu menggunakan bahasa Kawi. Menyuri sendiri artinya petunjuk untuk menuju tempat yang sepi dan langgeng. Isinya petunjuk-petunjuk dalam kehidupan," tuturnya.
Serat Menyuri ini kerap dibacakan dalam berbagai ritual adat Kejawen Kalitanjung. Terutama saat melepas kepergian anggota keluarga mereka yang meninggal.
"Kalau ada warga meninggal, setelah ritual nyaur tanah, malam harinya selametan dibacakan Menyuri. Dilanjut pada tujuh hari juga Menyuri, nanti seratus hari atau mendak juga Menyuri, mendak kedua dan ketiga, terus nyewu (seribu hari) juga Menyuri," jelas pria yang karib disapa Eyang Muharto ini.
![]() |
Serat Menyuri Konon Diciptakan Sunan Panggung
Eyang Muharto mengaku tidak tahu asal muasal Serat Menyuri. Namun, kitab ini telah diajarkan turun temurun.
"Kejawen Kalitanjung ada tiga kelompok, yaitu guru, tundagan, dan sesepuh. Guru bertugas mengajarkan ilmu, tundagan tugasnya menjaga pusaka peninggalan, kalau sesepuh menaungi masyarakat," kata Muharto.
"Menyuri konon dari penjelasan guru, diciptakan oleh Sunan Panggung pada tahun 1525," sambung dia.
Selengkapnya di halaman berikut...
Muharto menjelaskan sekilas tentang isi dari Kitab Menyuri. Dalam kitab itu, katanya, tertuang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dalam hubungan bermasyarakat.
"Intinya, mengatur habluminanas mbok menawa habluminallah, atau berhubungan baik dengan sesama untuk jalan berhubungan baik dengan Allah," terangnya.
Salah satu ajaran yang mereka pegang teguh adalah berhati-hati ketika menerima pemberian dari seseorang. Pemberian itu akan diterima jika diketahui bersumber dari hal yang baik.
"Kami hati-hati sekali, terutama urusan yang kami konsumsi. Tidak hanya mempertimbangkan halal atau haram. Termasuk cara mendapatkannya bagaimana kami harus tahu, jadi kami tidak mudah menerima pemberian dari orang," pungkasnya.