Kisah Mbah Ning, dari Autodidak Jadi Seniman Sungging Wayang Beber

Kisah Mbah Ning, dari Autodidak Jadi Seniman Sungging Wayang Beber

Bayu Ardi Isnanto - detikJateng
Minggu, 17 Jul 2022 10:17 WIB
Hermin Istiariningsih alias Mbah Ning (tiga dari kanan) dan suaminya, Sutrisno, Kamis (14/7/2022).
Hermin Istiariningsih alias Mbah Ning (tiga dari kanan) dan suaminya, Sutrisno, Kamis (14/7/2022). Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikJateng
Solo -

Siang itu, rumah Hermin Istiariningsih alias Mbah Ning banyak dihadiri tamu dari tetangga dan sanak famili. Nasi tumpeng sederhana menjadi sajian sebagai bentuk syukur atas rumah kecilnya yang baru direnovasi atas bantuan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Di masa tuanya, Mbah Ning memang layak mendapatkan tempat tinggal yang nyaman. Akan sangat ironis jika sang seniman sungging wayang beber asal Kota Solo itu harus menghabiskan sisa umurnya tanpa mendapat perhatian.

Sebab sudah hampir 40 tahun masa hidupnya dihabiskan untuk melukis wayang beber, sebuah kesenian yang hampir luntur ditelan zaman. Hasil goresan tangannya itu sudah melanglang buana ke negara-negara Asia hingga Eropa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belajar autodidak

Mbah Ning lahir di Kediri, Jawa Timur, tahun 1954. Bakatnya melukis didapat dari keluarganya yang juga memiliki darah seni. Namun dia baru memulai melukis wayang beber ketika pindah ke Solo tahun 1984.

Dari Kediri, Mbah Ning muda diperistri oleh pria bernama Sutrisno yang 13 tahun lebih tua darinya. Sutrisno yang merupakan pelukis kontemporer mulai mengajari istrinya teknik-teknik melukis.

ADVERTISEMENT

"Saya waktu itu diajari melukis sama suami. Tapi saya diminta untuk melukis wayang beber, yang ada unsur budayanya, itu nanti laku," kata Mbah Ning saat dijumpai di kediamannya, Kelurahan Jagalan, Jebres, Solo, Kamis (14/7/2022).

Kebetulan Mbah Ning sudah sejak kecil akrab dengan cerita wayang karena sering didongengi oleh sang kakek. Dia pun tak begitu sulit untuk melukiskan sebuah cerita ke dalam wayang beber.

"Saya biasanya membuat cerita Panji (Asmarabangun). Kalau waktu badan sehat, senang, seminggu jadi. Tapi kalau sakit ya jadi setahun," kata dia.

Kecintaannya terhadap seni lukis rupanya dihargai para pecinta seni dan kolektor. Para kolektor rela merogoh kocek yang dalam demi memiliki sunggingan wayang beber buatan Mbah Ning.

"Kalau zaman dulu dijual Rp 25 ribu, itu kalau sekarang ya mungkin puluhan juta rupiah. Tapi belum tentu laku setiap bulan," ungkapnya.

Selengkapnya simak di halaman selanjutnya...

Dapat penghargaan Kemendikbud

Baru pada tahun 2000-an, Mbah Ning mulai memamerkan karyanya kepada publik. Penghargaan demi penghargaan dia raih atas dedikasinya melestarikan wayang beber, salah satunya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2018.

Dia mengaku tidak tahu bagaimana karyanya bisa mendunia, sebab dia tidak pernah mengenyam bangku perkuliahan. Namun kini dia sering menerima tamu dari mahasiswa yang ingin belajar melukis wayang beber.

"Saya nggak menyangka juga bisa sampai seperti ini, karena saya cuma belajar autodidak. Sekarang mahasiswa itu kalau belajar ke sini, UNS, ISI, Unindra, dari Bali," kata dia.

Kini di usia 68 tahun, kondisi kesehatan Mbah Ning sudah sakit-sakitan. Dia pun tak bisa produktif berkarya lagi.

Di rumah, dia hanya tinggal berdua dengan suaminya, Sutrisno alias Mbah Tris. Kehidupan mereka sangat sederhana. Tempat tidur mereka hanya berupa bangku kayu. Namun mereka mengaku bersyukur atas kehidupan yang mereka jalani.

"Kami ya hidup seperti ini, kami syukuri apa adanya. Saya penginnya masih bisa melukis, karena saya merasa wayang beber itu duniaku, makanya saya cintai," pungkasnya.



Hide Ads