Puteri Indonesia 2025 Firsta Yufi Amarta Putri sukses memukau panggung Pertunjukan Busana Tradisional dengan balutan kostum yang mengangkat kisah legendaris Wayang beber lakon Dewi Sekartaji. Penampilannya yang anggun dan penuh karakter seolah menghidupkan kembali sosok putri Kerajaan Kediri yang melegenda dalam khasanah budaya Jawa.
Menurut unggahan Instagram resmi Puteri Indonesia Jatim, wayang beber merupakan bentuk seni pertunjukan wayang tertua di Indonesia. Penyajiannya khas, yakni melalui lembaran gambar yang dibentangkan satu per satu saat pementasan. Di antara banyaknya kisah yang diangkat, cerita Dewi Sekartaji menjadi yang paling populer dan sarat makna.
Sekartaji dikenal bukan hanya karena kecantikannya, tetapi keluhuran budi dan keteguhannya dalam menjunjung kebenaran. Kisahnya telah menjadi nyawa dari pertunjukan wayang yang berasal dari Kabupaten Pacitan ini hingga kini terus dilestarikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengenakan kostum wayang beber berkonsep Sekartaji, Firsta tak hanya menampilkan kecantikan luar, tetapi mempersembahkan filosofi mendalam dari sosok perempuan Jawa yang kuat, bijaksana, dan penuh kasih.
Keberhasilannya membawa kisah wayang beber ke panggung nasional menjadi bentuk penghormatan terhadap tradisi yang hidup dan terus bertumbuh dari masa ke masa. Penasaran dengan sejarah wayang beber? Simak informasi selengkapnya di sini.
![]() |
Sejarah Wayang Beber
Wayang beber merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan tradisional yang telah menapaki perjalanan panjang sejak masa kerajaan hingga era kemerdekaan. Kisahnya dimulai sejak abad ke-13 dan mengalami banyak transformasi sesuai dengan perkembangan zaman dan pengaruh budaya.
Pada tahun 1223 M, di masa Kerajaan Jenggala, wayang beber masih berupa gambar-gambar yang dilukis di atas daun siwalan atau lontar. Inilah bentuk awal dari media pertunjukan wayang beber yang sangat sederhana.
Kemudian, pada tahun 1244 M, ketika pusat pemerintahan Kerajaan Jenggala berpindah ke Pajajaran, terjadi perubahan signifikan. Gambar wayang mulai dipindahkan ke media kertas berbahan dasar kayu yang disebut dlancang gedog, berwarna kekuningan.
Pewarnaan yang digunakan masih terbatas pada hitam dan putih, dan saat itu, wayang beber lebih dikenal dengan sebutan wayang purwa. Transformasi berlanjut pada masa Kerajaan Majapahit, tepatnya tahun 1316 M di bawah kepemimpinan Jaka Susuruh.
Pada masa ini, lembaran kertas wayang mulai dilengkapi dengan tongkat kayu di setiap ujungnya. Fungsinya adalah mempermudah penggulungan dan penyimpanan, serta memudahkan dalam proses pementasan. Dari sinilah istilah "wayang beber" mulai dikenal luas.
Memasuki tahun 1378 M, Raja Brawijaya V memerintahkan putranya, Raden Sungging Prabangkara, untuk menciptakan versi baru dari wayang beber purwa. Hasilnya adalah tiga set cerita dengan pewarnaan lebih kaya dan detail karakter yang lebih jelas, terutama dalam membedakan antara tokoh raja dan punggawa.
Ketiga lakon yang terkenal dari masa ini adalah kisah Panji di Jenggala, Jaka Karebet di Majapahit, dan Damarwulan. Perubahan mencolok terjadi pada tahun 1518 M, di masa kejayaan Kesultanan Demak. Wayang beber mengalami modifikasi besar, mengikuti nilai-nilai ajaran Islam yang mulai berkembang.
Gambar manusia dan hewan yang semula digambarkan realistik mulai dimiringkan atau distilisasi, demi menyesuaikan dengan hukum fikih yang tidak memperbolehkan penggambaran makhluk hidup secara utuh. Para wali, termasuk Sunan Bonang, kemudian menciptakan wayang kulit yang menjadi sarana dakwah Islam.
Sunan Bonang juga membuat versi Wayang Beber Gedog dengan kisah Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji. Kemudian, pada masa pemerintahan Mangkurat II di Kerajaan Kartasura tahun 1690 M, wayang beber kembali dihidupkan.
Kisah yang dimainkan saat itu adalah Joko Kembang Kuning. Beberapa dekade berikutnya, tepatnya pada tahun 1735 M, saat Kartasura dipimpin oleh Raja Pakubuwana II, kisah Joko Kembang Kuning kembali ditampilkan bersama lakon Remeng Mangunjaya.
Sayangnya, perkembangan wayang beber sempat terhambat karena peristiwa pemberontakan China. Dalam kekacauan itu, keluarga kerajaan terpaksa mengungsi dan membawa perlengkapan wayang beber ke berbagai daerah.
Sebagian dari keluarga kerajaan yang mengungsi kemudian menetap di wilayah Gunungkidul, Wonosari, sementara yang lain memilih Karangtalun, Pacitan sebagai tempat tinggal baru. Di tempat-tempat inilah, warisan wayang beber terus dijaga dan dilestarikan para penerusnya.
Dari pelarian itulah, seni pertunjukan ini menyebar ke berbagai penjuru, bertahan dalam rupa-rupa bentuknya, dan tetap hidup hingga kini sebagai bagian penting dari kekayaan budaya Nusantara.
Sebagian di antaranya menetap di Gunungkidul, Wonosari, dan sebagian lain di Karangtalun, Pacitan. Dari sinilah, warisan wayang beber tersebar dan tetap bertahan dalam berbagai bentuk hingga hari ini.
(auh/irb)