Mbah Waluyo (73) warga Delanggu, Klaten menggeluti profesi sebagai tukang tambal ban sudah 50 tahun atau setengah abad. Buah kesabaran dan ketekunannya selama setengah abad itu bahkan mampu mengantarkan anaknya menjadi seorang dokter. Seperti apa kisahnya?
"Nambal awit (sejak) bujang, sudah 50 tahun. Di sini terus tidak pindah, wes tua awake cilik (sudah tua badan makin kecil)," ujar Waluyo saat berbincang dengan detikJateng di lapak tambal bannya, Minggu (2/2/2025).
Lapak tambal ban Waluyo cukup sederhana, bukan berupa kios karena hanya diatapi terpal dan sobekan kain. Lokasi tambal ban itu berada di samping bedeng jasa titipan sepeda motor dan jualan koran di simpang empat Pasar Delanggu, jalan Jogja-Solo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jasa tambal ban itu juga serba manual. Besi pengepres masih mengandalkan minyak spiritus, juga pompa angin yang masih menggunakan pompa tangan, bukan kompresor.
Meskipun tubuhnya tak lagi berdiri tegak, Waluyo masih lihai menambal ban. Nada bicaranya dan perkataannya masih runut didengarkan.
Waluyo mengaku menggeluti jasa tambal ban sejak tahun 1975. Profesi itu dipilihnya sejak memutuskan keluar sebagai pekerja pabrik di Jakarta.
"Di Jakarta saya kerja di pabrik tapi saya ndak kerasan. Di pabrik itu digilir masuknya saya ndak betah, dua tahun pulang," tutur kakek lima cucu ini.
![]() |
Sejak hengkang dari pekerja pabrik itu, Waluyo memutuskan membuka tambal ban. Lapaknya buka pada pagi hari hingga malam.
"Mulai jam 05.00 sampai 20.00 WIB sambil parkir dan jual koran. Ya habis subuhan itu ke sini sama istri agak siang," kata Waluyo.
Dia pun mengaku rezeki selalu datang. Meski lapaknya sederhana, setiap hari ada sekitar lima sepeda motor yang datang menambal ban.
"Sehari sekitar 5-10 sepeda motor, untuk makan lumayan. Jarang blong, pasti ada raketang satu (meskipun cuma satu), namanya rezeki pasti ada," papar Waluyo yang mematok ongkos tambal ban Rp 10 ribu per motor.
Waluyo menyatakan penghasilannya sehari-hari cukup untuk makan bersama sang isteri. Dia hanya tinggal berdua dengan istri karena anak-anaknya sudah berkeluarga.
"Anak saya dua, yang besar dokter di RS di Bengkulu, yang kecil di Perhubungan Yogyakarta. Di rumah berdua karena anak sudah berkeluarga semua," sambung Waluyo.
Waluyo menuturkan modalnya bekerja adalah sabar dan tekun. Waluyo mengaku menjaga kesehatan dan tidak merokok.
"Yang penting jaga kesehatan, tidak merokok saya. Anak-anak dulu sekolahnya juga pinter, dapat beasiswa," imbuh Waluyo yang salah satu anaknya lulusan FK UGM ini.
Sarwono, penarik becak tetangga Waluyo, mengatakan tetangganya itu mungkin tukang tambal ban paling tua. Menurutnya, Waluyo menambal ban sejak sekitar 1975.
"Nambal sekitar 1975-an. Anaknya ada yang dokter, dua anaknya itu pegawai kabeh (pegawai semua)," kata Sarwono kepada detikJateng di lokasi.
(ams/ams)