Dhasar Mangsa Ngarsa, Konsep Wajah Baru Malioboro Jogja

Jogja Planning Gallery (JPG). Dhasar Mangsa Ngarsa jadi konsep wajah baru Malioboro. (Foto: dok. Istimewa)

Yogyakarta -

Pemerintah Daerah (Pemda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tengah mengonsep wajah baru Malioboro di masa depan. Sesuai target, tahun 2024 Malioboro akan memiliki Jogja Planning Gallery (JPG) yang menjadi museum masa depan sebagai magnet baru ikon wisata Jogja itu.

Konsep wajah baru Malioboro itu pun telah selesai disayembarakan bersama Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) DIY. Pemenangnya arsitektur dari Bali dengan mengusung konsep Dhasar Mangsa Ngarsa.

"Kami beri judul Dhasar Mangsa Ngarsa, artinya menciptakan masa depan berdasarkan nilai-nilai luhur. Jadi memang bangunan ini adalah wadah yang kami ciptakan baik indoor maupun outdoor, kami harap bisa menjadi fasilitas dan saksi masyarakat Jogja untuk merumuskan masa depannya lewat konten-konten yang mereka buat di dalam bangunan," kata salah seorang arsitektur pemenang, Haidar Majid Dinutanayo, saat memberikan keterangan kepada wartawan, beberapa waktu lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjelaskan ide konsep tersebut tak datang sendiri. Ia bersama rekan-rekannya Studio Arsitektur Kolektif, mengaku banyak kisah dari Kota Jogja.

"Kebetulan istri saya orang Jogja, mertua saya orang Jogja. Kami banyak kisah dari Jogja," jelasnya.

Kemudian, kata Haidar, pemahaman tersebut ditambah dengan paneling submit dari pakar. Mereka pun berproses selama 1,5 bulan untuk mendapatkan data soal Jogja.

"Kami punya banyak kisah tentang Jogja. Kami berproses 1,5 bulan, dimulai saat paneling submit, kemudian kami memperdalam detail lagi desain dalam bentuk maket dan Video," katanya.

Jogja Planning Gallery (JPG). Dhasar Mangsa Ngarsa jadi konsep wajah baru Malioboro. Foto: dok. Istimewa

Hasil dari penggalian data itulah, kata Haidar, yang membuat karya Dhasar Mangsa Ngarsa menjadi banyak unsur kearifan lokal.

"Unsur kearifan lokal, tiga konsep utama, unggah ungguhing laku, kita menghargai prinsip dan filosofis yang telah ada di Jogja. Membangun majeng tulodo, memperhatikan konteks dalam dan luar kawasan ini. Ketiga lestari ning alam, respons berkontribusi terhadap kehidupan lingkungan alam dalam side," jelasnya.

Tak hanya itu, JPG sebagai pemanfaatan bangunan cagar budaya, menurut Haidar, menjadi dasar karya tersebut bisa sesuai dengan harapan dewan juri. Yaitu memperhatikan Malioboro sebagai sumbu filosofi dan pemanfaatan gedung lama bekas kantor DPRD DIY.

"Memperhatikan sumbu filosofi utama Jogja dan bangunan cagar budaya di dalamnya gedung lama bekas kantor DPRD. Mencoba respons dengan memberi jarak antara bangunan lama dan baru memotongnya berdasarkan fungsi dan aksis baru bersumber bangunan lama bangunan DPRD," katanya.

Halaman selanjutnya, konsep kawasan hijau Malioboro

Tak hanya selaras dengan kawasan sumbu filosofi, Haidar memastikan, karyanya bersama rekan-rekannya itu menyesuaikan konsep kawasan hijau yang sudah menjadi ciri kenyamanan Malioboro.

"Kami merespons dari bentuk pemisahan sirkulasi, mempermudah area aksitorat, memperbesar area hijau dan resapan, mengadaptasi langgam kawasan sehingga muncul memadukan langgam Inggris dan tradisional," katanya.

Ciri kekhasan budaya Jogja itu lekat, menurut Haidar, dari prinsip gambaran besar karya tersebut melalui atap yang lebih dominan.

"Secara prinsip gambaran besar kami membuat atap lebih dominan sebagai salah satu nilai arsitektur tradisional. Ornamen kecilnya kami coba memberikan motif bunga truntum pada empat entrance-nya sebagai perlambangan keharmonisan," jelasnya.

Lebih detail soal ornamen, kata Haidar, pihaknya menambahkan bentuk di ujung atapnya aksen tumpangsari khas bangunan Jawa.

"Lalu yang terlihat di setiap ujung-ujung atapnya, kami berikan aksen tumpangsari, lalu bagian koridor perimeter kami menerapkan unsur act sebagai penyesuaian arsitektur kawasan," katanya.

Tak kalah penting, menurut Haidar, material lokal bangunan. Studio Arsitektur Kolektif memperhatikan soal ketersediaan material ini dengan tetap memasukkan unsur material lokal.

"Jika dihitung mengenai material lokal, kami coba ambil dari material sekitar Jogja, atap genting dari tanah liat, candi lava batu, candi lava untuk paving, batu paras Jogja untuk koridor perimeter, dan kayu ulin tua sebagai aksen pelapis kolom dan tumpangsari," katanya.

Studio Kolektif ini merupakan pemenang pertama Sayembangan Pra Desain Jogja Planning Gallery. Mereka berasal dari Bali dengan leader Indira Oditya Sari, anggota Benedictus Donny Mahardika, Rendianto Agustinus Purwanto, dan Haidar Majid Dinutanayo.