Sebuah papan kayu bertuliskan 'Sanggar Rojolele, Omah Budaya Tani Rojolele' berdiri di tepi Dusun Kaibon, Desa Delanggu, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Papan berlogo bulir beras tersebut berdiri di depan sebuah rumah joglo kuno dengan rumah panggung di halamannya. Di depan rumah itu, sawah padi varietas Rojolele terhampar luas dengan hiasan memedi sawah (orang-orangan pengusir burung) di beberapa titik.
Di sanggar itulah titik awal Eksan Hartanto (32) dan para pemuda Dusun Kaibon berikhtiar mengadvokasi para petani di Desa Delanggu. Eksan adalah mantan buruh pabrik manufaktur di Batam yang memilih resign dan pulang kampung untuk menjadi petani.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eksan menceritakan keprihatinannya terhadap sektor pertanian di Delanggu bermula saat dirinya pulang kampung 2015. Dia menjadi buruh pabrik sejak 2007.
"Saya pulang untuk bertani lagi tapi saya kesulitan mencari teman sebaya untuk bertani. Ternyata sistem tata kelola pertanian sudah amburadul, kelompok tani vakum, baru bingung saat ada serangan hama," terang Eksan yang sudah bergelut di industri manufaktur sejak 2007.
![]() |
Melihat kondisi itu, Eksan semakin kukuh berniat mengembalikan kejayaan petani desanya dengan mendirikan Sanggar Rojolele pada 2016.
"Tahun 2017 kita (Sanggar Rojolele) terjun, yang sebelumnya hanya menyuarakan isu pertanian, kemudian juga mengadvokasi masalah yang dihadapi petani di Desa dan Kecamatan Delanggu khususnya," tutur Eksan.
"Kita harapkan nama Rojolele bisa membuka nostalgia petani untuk membangkitkan mood mereka. Kita bukan asal memberi nama, tapi sebagai perlawanan atas keadaan. Rojolele itu identik Delanggu. Tapi (ternyata) Rojolele hanya menjadi merek, isinya beras dari luar yang diberi label beras Delanggu," imbuh Eksan.
Saat ini, sebut Eksan, ada sekitar 60-70 petani yang aktif di sanggar dengan berbagai kegiatan belajar. Mulai kunjungan studi, diskusi, sarasehan, sampai menjadi kampus lapangan mahasiswa.
"Ada kunjungan studi dari berbagai daerah, sarasehan, jagongan tani setiap 35 hari, seni tari, seni keroncong bambu, dan sejak 2020 bersama UNS jadi mitra belajar merdeka mahasiswa. Semacam kampus lapangan bersama petani," rinci Eksan.
Eksan kini menggarap empat petak sawah, dua petak sawah sewa dan dua petak lagi sawah garapan dengan sistem bagi hasil.
"Dua saya sewa dan dua sawah maro (bagi hasil). Saat ini yang difasilitasi sanggar ada total 28 hektare yang menanam padi Rojolele, dengan permintaan tinggi yang belum bisa kami penuhi," kata Eksan.
Tentang gerakan budaya tani dalam Festival Mbok Sri Mulih ada di halaman selanjutnya...
Permintaan beras Rojolele dari petani binaan sanggar, tambah Eksan, setiap bulan mencapai 20 ton untuk satu rumah makan. Namun, pihaknya baru bisa menyanggupi 12 ton.
"Kita belum bisa memenuhi permintaan beras, kita upayakan perluasan lahan dengan varietas baru Rojolele yang lebih singkat masa panennya (Srinuk). Sanggar tidak mengambil dari profit beras tapi sanggar kita danau dengan iuran jimpitan rutin dan ada sedikit dana desa," tegas Eksan.
Eksan melanjutkan, Sanggar Rojolele juga melakukan pendekatan kebudayaan lainnya dengan Festival Mbok Sri Mulih yang diikuti berbagai seniman dari dalam dan luar Klaten.
"Kita ingin menyuarakan isu-isu pertanian tidak dengan cara frontal seperti unjuk rasa tapi dengan cara menyenangkan. Biasanya September-Oktober kita gelar," pungkas Eksan.
Salah satu mahasiswa UNS binaan Sanggar Rojolele, M Raihan Ariza Novaldi, menyebut Eksan sebagai sosok pemikir. Banyak idenya yang membangkitkan petani.
"Ide-idenya yang dimiliki jarang ditemukan. Kalau ada apa-apa kita dibimbing," ungkap Ariza yang selama 3 bulan di sanggar.