Pakar Undip Kritik Bagi-bagi Jabatan ke Pendukung 02, Singgung soal Kompetensi

Pakar Undip Kritik Bagi-bagi Jabatan ke Pendukung 02, Singgung soal Kompetensi

Angling Adhitya Purbaya - detikJateng
Rabu, 28 Feb 2024 20:00 WIB
Pakar politik Undip Wahid Abdurrahman
Pakar politik Undip Wahid Abdurrahman. Foto: Dok pribadi Wahid Abdurrahman.
Semarang -

Pengangkatan Prabunindya Revta Revolusi atau Prabu Revolusi sebagai Komisaris Independen PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) dinilai sebagai bentuk politik balas budi. BUMN menjadi pertaruhan jika orang yang dipilih dalam jabatan strategis itu tidak berkompeten.

Pakar politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Wahid Abdurrahman mengatakan, politik balas budi tersebut di Indonesia seperti hal wajar. Bahkan kini diperlihatkan salah satunya dengan pemilihan penunjukan Prabu Revolusi meski rekapitulasi Pemilu 2024 belum rampung.

"Kalau melihat budaya politik balas budi di Indonesia dianggap sebagai hal lumrah. Pascaapapun baik level nasional, pilpres, termasuk di level daerah. Ada kecenderungan demikian, merapat ke episentrum kekuasaan," kata Wahid saat dihubungi detikJateng, Rabu (28/2/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjelaskan rekapitulasi KPU belum selesai, namun memang hasilnya mengerucut ke Paslon 02, Prabowo-Gibran.

"Proses rekapitulasi suara manual masih berjalan di KPU kemudian ada upaya konstitusional seperti angket dan sebagainya tetapi tampaknya memang episentrum kekuasaannya memang sudah mulai mengerucut di Pak Prabowo. Ya bahkan kemudian indikasinya tadi siang beliau dianugerahi Jenderal kehormatan sehingga wajar banyak orang yang mulai mendekat ke episentrum pusat," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Prabu yang tadinya mendukung Paslon 03, Ganjar-Mahfud kemudian menjadi mendukung Prabowo-Gibran dan kini diberi jabatan strategis di BUMN bisa jadi merupakan politik balas budi. Secara umum, politik balas budi merupakan upaya meminimalisir pihak-pihak oposisi.

"Iya memang kecenderungan semacam itu (politik balas budi), upeti dalam tanda kutip, hadiah, bisyaroh yang dilakukan karena dukungan politik kemarin, cuma jadi bahaya ketika yang bersangkutan tidak punya kredibilitas dan rekam jejak dan visi yang bagus terkait jabatan yang diemban," jelas Wahid.

"Ada kecenderungan merapat ke episentrum kekuasaan dan kemudian penguasa membutuhkan untuk memperbanyak memperluas dukungan politik atau kelembagaan, memperbanyak teman, meminimalisir orang yang menjadi oposan, salah satunya dengan jabatan," tegasnya.

Politik balas budi dengan memberikan jabatan strategis di BUMN bisa beresiko dalam kinerja BUMN jika yang dipilih hanya berdasarkan jasa politik atau orang dekat. Ia menegaskan harus dilihat juga kompetensi dan profilnya.

"Ada kecenderungan mengesampingkan ya, maka dikualifikasi, kompetensi, profesionalisme ini yang jadi bahaya, hanya sekedar bagi-bagi kekuasaan, sharing jabatan tapi kesampingkan profesionalisme sehingga dampaknya nanti tidak hanya sekarang, bisa kemudian hari seperti beberapa BUMN kan kemudian menjadi tidak maksimal dan bangkrut, ini bahaya," ujar Wahid.

"Memang di level apapun memilih orang yang paling dekat, paling tidak dia punya jasa politik besar, masalahnya yang dipertaruhkan bukan perusahaan keluarga, bukan sekadar perusahaan dagang milik perseorangan, tapi negara. Apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak," imbuhnya.

Untuk diketahui, selain Prabu Revolusi ada juga Siti Zahra Aghnia yang kini menjadi komisaris baru PT Pertamina Patra Niaga. Diketahui, Siti Zahra Aghnia adalah istri Komandan Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (TKN Fanta) Prabowo-Gibran, Muhammad Arief Rosyid Hasan.

Wahid menegaskan, jika pemberian jabatan harus diberikan kepada orang-orang yang berkompeten dalam bidang yang diemban. Kemampuan orang yang ditunjuk harus punya visi di semua level tidak hanya di BUMN tapi juga sampai tingkat kementerian.

"Kalau ada balas jasa, sharing jabatan dengan orang berjasa, jangan kesampingkan profesionalisme, track record, kemampuan dan visi ke depan untuk tugas yang diemban," katanya.




(apl/ahr)


Hide Ads