Pakar Politik Universitas Diponegoro (Undip), Wahid Abdurrahman, menyebut putusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah telah menyelamatkan demokrasi. Dia menyebut adanya manuver untuk menganulir keputusan itu sebagai bentuk praktik machiavelistik.
"Keputusan MK itu paling tidak, tidak hanya menjaga konstitusi tapi juga berperan menjaga demokrasi dari praktik oligarki yang sudah kelihatan nampak sekali," ujarnya saat dihubungi, Rabu (21/8/2024).
Sebab, lanjutnya, dengan adanya putusan tersebut bakal ada perubahan peta politik di sejumlah daerah. Dia mencontohkan, seperti di Jakarta di mana satu calon diusung berbagai partai akan bisa diminimalisir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Efeknya pada minimnya figur-figur yang punya kompetensi atau track record baik terhambat oleh praktik ini dan MK dalam konteks ini tidak hanya menyelamatkan konstitusi tapi juga menyelamatkan demokrasi dari pembajakan demokrasi," paparnya.
Secara politik, dia membandingkan putusan MK dalam perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK terkait syarat minimal usia calon presiden dan wakil presiden. Artinya, keputusan MK tersebut bersifat final dan mengikat dan seluruh pihak menaati hal tersebut.
"Dalam perspektif politik sama juga seperti sebelum pilpres. Ibaratnya kan pertandingan itu kan sudah berjalan dan di tengah jalan regulasinya berubah atau diubah. Sama juga ketika Mahkamah Konstitusi memberikan ruang bagi calon presiden dan wakil presiden dengan usia dalam kasus pilpres kemarin kan sama sebetulnya dalam tanda kutip," jelasnya.
"Saya melihat semestinya ya baik DPR, Pemerintah kalau masih menganggap politik itu masih dilandasi nilai itu semestinya harus ditaati kan keputusan MK itu final dan mengikat tapi kan ini kalau nggak salah siang atau sore ini akan ada konsultasi KPU ke DPR dan pembahasan RUU Pilkada," katanya.
Dia menilai bila ada manuver untuk menganulir putusan MK merupakan tindakan machiavelistik atau melalukan segala cara agar bisa memenangkan kompetisi.
"Kalau kemudian dalam tanda kutip keputusan ini masih diakali tentu saya menganggap ini adalah praktik machiavelistik dari partai-partai yang lebih mementingkan kemenangan dari pada aturan main. Sama juga ketika kemarin MK membuat keputusan tentang syarat usia kemarin, KPU langsung mengeksekusi itu, ini kan masih ada dinamika ini. Semoga ini tidak terjadi ya semoga tetap elite kita tetap bisa melakukan praktik demokrasi ini dengan nilai dan adab yang baik ya," pungkasnya.
Sebelumnya, MK membacakan putusan yang mengubah syarat bagi partai politik untuk mengusung calon kepala daerah. Kini, partai peserta pemilu dapat mengusung calon kepala daerah meski tidak memiliki kursi di DPRD.
Perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 itu diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora. Pasal yang digugat oleh Buruh dan Gelora itu ialah Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada. MK menyatakan pasal 40 ayat (3) itu tidak sesuai dengan UUD 1945.
(apl/apu)