Bank Dunia menanggapi program makan siang gratis yang diusung oleh pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Bank Dunia menyoroti program tersebut seharusnya disiapkan secara matang.
Mengenai hal itu, Gibran yang kini masih menjabat Wali Kota Solo mengucapkan terima kasih kepada Bank Dunia atas masukan yang diberikan. Dirinya mengaku bahwa sudah mendiskusikan terkait program tersebut, tapi tidak bisa memaparkan ke publik saat ini.
"Terima kasih untuk masukannya, World Bank ya. Yang namanya program dan visi misi pasti sudah didiskusikan, tapi tidak bisa dipaparkan sekarang karena apa, aku masih Wali Kota," kata Gibran di Balai Kota Solo, Rabu (28/2/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putra sulung presiden Joko Widodo(Jokowi) itu juga akan mendiskusikan terkait besaran makan siang gratis di mana per anak akan mendapatkan Rp 15 ribu. Selain itu perhitungan juga akan dilakukan mengingat besaran Rp 15 ribu per anak membuat defisit APBN.
"(Besaran Rp 15 ribu per anak) Nanti akan kita diskusikan, jika ada masukan dari warga akan dievaluasi lagi. (Defisit APBN) Nanti akan dibicarakan lagi, gitu nggih," pungkasnya.
Sebelumnya, dilansir dari detikFinance, Bank Dunia menanggapi program makan siang gratis. Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen menilai program perlu direncanakan dengan matang.
Menurutnya, pemerintah perlu terlebih dahulu menetapkan dengan pasti bentuk dan sasaran program tersebut. Intinya dipersiapkan dari sisi perencanaan serta anggarannya.
"Tergantung program seperti apa yang akan dilaksanakan dan bentuknya apa. Semua rencananya harus benar-benar dipersiapkan dan biayanya juga dipersiapkan," kata Satu Kahkonen di Kantor Kemenko Perekonomian, dikutip dari Antara, Rabu (28/2/2024).
Sebagai perwakilan dari Bank Dunia, pihaknya masih akan menunggu secara detail mengenai program tersebut.
"Kami masih menantikan (rincian Program Makan Siang Gratis). Untuk Indonesia pada dasarnya berpegang pada pagu defisit fiskal yang telah ditetapkan sebesar 3 persen dari PDB, sesuai dengan peraturan perundang-undangan," ujarnya.
(rih/ahr)