Presiden Amerika Serikat (AS) Donald John Trump menerapkan tarif universal sebesar 10% untuk barang-barang asing dan mulai berlaku per 5 April 2025. Apa dampaknya bagi Indonesia?
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (UB) Dr.rer.pol.Wildan Syafitri menyoroti ada motif utama untuk perlindungan ekonomi dalam negeri yang dilakukan oleh AS.
"Jika dilihat dan perlu diketahui bahwa, kebijakan tarif impor Trump ini memiliki tujuan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dan neraca pembayaran AS terhadap China," kata Ketua Program Studi S2 FEB UB ini, Rabu (16/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih spesifik, Wildan juga menyoroti salah satu dampak yang akan terjadi dari kebijakan Trump ini, yaitu spillover effect. Spillover effect adalah dampak yang menyebar dari suatu peristiwa ekonomi ke perekonomian lain.
"Menurut saya, gejala spillover ini akan muncul karena China tidak hanya sebagai negara pengekspor, tapi juga mengimpor bahan baku dari negara lain, salah satunya dari Indonesia," kata Wildan.
Sementara itu, dalam sisi kenaikan tarif impor terhadap China, Wildan lebih menyoroti adanya kontradiktif akibat kenaikan tarif impor China oleh Trump.
Wildan mengungkapkan, tarif Trump ini sebenarnya sangat kontras dengan konsep dari free trade atau sistem perdagangan bebas, serta seharusnya persaingan ekonomi global itu memang didasarkan atas daya saing produk itu sendiri, bukan dari tarif.
"Jadi, ini yang dimaksud oleh Bu Sri Mulyani yang bilang bahwa, kebijakan ini tidak bisa dianalisis dengan menggunakan ilmu ekonomi," tambah Wildan.
Wildan juga menegaskan, dalam teori klasik, seperti teori keunggulan komparatif, kompetitif, dan absolut menyebutkan bahwa semakin efisien perekonomian suatu negara, maka semakin kuat daya saing ekspornya.
Maka dari itu, Wildan mengatakan menurut ekonomi klasik, isu ini dapat menurunkan consumer surplus karena harga barang akan cenderung tinggi.
"Tidak menutup kemungkinan akan terjadi Dead Weight Loss yang berarti bahwa tidak ada seorang pun yang akan mendapat keuntungan," kata Wildan.
Dia menambahkan, akan adanya ketidakpastian dalam ranah politis. Di mana, ketika suatu negara secara tiba-tiba meningkatkan tarif impor tanpa adanya perjanjian dengan negara lain. Maka, hal itu dinilai menjadi kesempatan bagi negara-negara lain untuk melanggar kebijakan free trade dan akan berisiko pada bisnis serta investasi.
Lebih lanjut, Wildan menjelaskan, Indonesia pada masa setelah COVID-19, perekonomian Indonesia mengalami surplus, sedangkan kondisi perekonomian global.
Bahkan, saat sebelum COVID-19 sudah mengalami gejala penurunan. "Jadi, Indonesia itu selamat dari inflasi, selamat dari resesi," ujarnya.
Wildan menjelaskan, solusi strategis yang bisa dilakukan oleh Indonesia untuk merespons hal ini.
"Solusinya ya bisa pengalihan produk ekspor AS ke negara lain, seperti Singapura dengan meningkatkan daya saing ekspor, investasi inovasi, kemudahan bisnis, serta mendorong supply dan demand dalam negeri," beber Wildan.
Berbeda dengan Wildan, dosen Kebijakan Publik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (UB), Andhyka Muttaqin justru menanggapi positif kebijakan ekonomi Trump tersebut.
Dia menjelaskan, kebijakan penangguhan tarif AS justru memberikan dampak positif terhadap iklim investasi di Indonesia, terutama karena menciptakan kepastian jangka pendek dan peluang relokasi industri dari China.
Namun, pemerintah Indonesia perlu gerak cepat memanfaatkan momentum ini dengan diplomasi dagang aktif dan reformasi kebijakan investasi dalam negeri agar manfaatnya bisa maksimal dan berkelanjutan.
"Kebijakan penangguhan tarif Amerika Serikat dapat menciptakan kepastian jangka pendek dan peluang relokasi industri dari China ke Indonesia," kata Andhyka terpisah.
Andhyka juga menuturkan, peningkatan tarif ini menciptakan tekanan besar terhadap produk China. Sehingga menyebabkan perusahaan-perusahaan global berbasis China mencari negara lain untuk mengekspor produknya.
Salah satunya yang paling berpotensi adalah Indonesia, khususnya dalam sektor manufaktur berorientasi ekspor.
"Ini bisa meningkatkan foreign direct investment (FDI) dari perusahaan multinasional yang ingin menghindari tarif tinggi di China," kata Andhyka.
Andhyka juga menjelaskan, kebijakan resiprokal selama 90 hari ini menjadi peluang bagi pemerintah Indonesia untuk memperkuat posisi dalam perundingan perdagangan dan investasi.
Seperti dengan menegosiasikan perlakuan khusus bagi produk strategis Indonesia atau perluasan fasilitas GSP (Generalized System of Preferences).
Andhyka mengungkapkan, pemerintah Indonesia tetap perlu gerak cepat memanfaatkan momentum ini dengan diplomasi dagang aktif dan reformasi kebijakan investasi dalam negeri agar manfaatnya bisa maksimal dan berkelanjutan.
(mua/hil)