Sebuah jembatan di Dukuh Dombo, Desa Banjarsari, Kecamatan Sayung, menuai perhatian karena nama maupun kisah mistis yang menyertainya. Nama jembatan itu adalah Gendruwo.
Di balik kisah seramnya, jembatan yang dibangun sejak 1980-an ini menyimpan kisah miris karena belum pernah dimodernisasi. Padahal, akses utama bagi tiga dukuh menuju Balai Desa Banjarsari.
Warga pun memugarnya sedikit demi sedikit menggunakan anggaran swadaya mereka. Bantuan dari pemerintah maupun dewan diharapkan supaya jembatan tersebut berdiri lebih kokoh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mitos Jembatan Gendruwo
Kepala Desa Banjarsari, Haryanto mengungkapkan, jembatan ini begitu angker karena mitos penampakan makhluk gaib di sana. Penampakan tersebut kabarnya membuat para pengguna jatuh ke tambak.
"Di sini itu bahasanya, magisnya itu memang kuat, kenceng. Bahasanya temen-temen ulama, mungkin dari 5 kepala desa itu akhirnya sampai tidak berani membangun jembatan yang ada di situ, Jembatan Gendruwo," kata Haryanto saat ditemui di Balai Desa Banjarsari, Selasa (19/12/2023).
Haryanto menerangkan, jembatan itu dinamai Gendruwo karena mitos 'penunggu' yang berada di sana.
"Itu warga sendiri (yang memberi nama), karena mitosnya selalu ada barang gaib yang wujud besar di sungai jembatan itu, akhirnya orang menamai itu Jembatan Gendruwo," ujar Haryanto.
Akses Utama di Desa Banjarsari
Haryanto menuturkan, jembatan yang terbuat dari tumpukan kayu dengan lebar hanya tiga meter ini adalah akses utama yang bisa dilalui warganya. Truk yang mengangkut padas harus memutar lewat jalan lebih jauh jika ingin masuk ke Banjarsari.
"Itu akses utama, ketika (jembatan Gendruwo) ini tidak terbangun, Banjarsari mau tidak mau akan ketertinggalan. Karena kami tidak memiliki akses utama menuju balai desa," jelasnya.
Untuk diketahui, jembatan itu merupakan akses utama warga dari tiga dukuh untuk menuju Balai Desa Banjarsari. Tiga dukuh itu berada di sisi barat balai desa, yaitu Dombo, Karangsambung, dan Morjo. Total warga di tiga dukuh itu sekitar 1.700-an orang.
"Misalnya truk mau ke situ tidak bisa lewat, harus memutar ke jalan Pantura masuk melalui desa-desa tetangga. Biaya membangun di Banjarsari jadi membengkak dua kali lipat. Misalkan biaya padas di luar Rp 500 ribu, di sini sudah Rp 1 juta," ungkap Haryanto.
Haryanto mengatakan, jembatan Gendruwo yang berlantai kayu itu juga membuat sejumlah pengendara motor susah melintas. Pemotor dari arah berlawanan harus bergantian saat melintasi jembatan itu.
"Kalau bawa barang itu memang rada susah, karenanya sering pada tercebur. Karena dianggap mistis itu orang melihatnya pemerintah mau membangun itu seperti maju mundur," ucapnya.
Warga Perbaiki Jembatan Swadaya
Pemdes Banjarsari selama ini hanya memperbaiki jembatan tersebut secara tambal sulam. "Kita hanya tambal sulam akhirnya, misalkan bolong ditambal. Anggaran kita itu setiap tahun hanya tambal sulam saja, tambal kayu-kayu yang rusak," ujarnya.
"Di Desa Sidorejo itu yang jembatan glodak sudah bisa pakai jembatan yang beton itu, kenapa kita tidak bisa?" imbuh Haryanto.
Haryanto berkomitmen akan membangun jembatan Gendruwo untuk memajukan desanya. "Sudah sering kami sampaikan dan ajukan (ke dinas terkait) namun tidak direspons," ujarnya.
Menurut petani tambak di dekat Jembatan Gendruwo, Ali Khafid, di jembatan itu memang sering ada orang yang terjatuh lantaran permukaan lantai kayunya tidak rata.
"Kalau sering kecelakaan itu karena jembatannya itu tidak rata. Sering (orang jatuh), padahal siang. Itu kan bawa muatan, nggak seimbang akhirnya jatuh," ujar Khafid.
"Iya, saya itu pernah naikin orang bersama motornya, barangnya. Diangkat empat orang di sini," sambung warga Dukuh Dombo itu.
(apu/sip)