Meluruskan Mitos dan Fakta Tentang Donor Mata

Meluruskan Mitos dan Fakta Tentang Donor Mata

Wisma Putra - detikJabar
Sabtu, 14 Des 2024 08:00 WIB
Penampakan kornea mata yang siap didonorkan.
Penampakan kornea mata yang siap didonorkan. (Foto: Wisma Putra/detikJabar)
Bandung -

Donor mata mungkin terdengar asing di telinga masyarakat jika dibandingkan dengan donor darah atau ginjal. Berbeda dari donor darah dan ginjal yang dapat dilakukan semasa hidup, donor mata hanya dapat dilakukan setelah pendonor meninggal dunia. Namun, yang didonorkan bukan bola mata secara utuh, melainkan bagian kornea, lapisan bening di depan bola mata. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang keliru memahami konsep donor mata ini.

Menurut dr. Arief A. Mustaram, SpM(K), Ketua Bank Mata di Rumah Sakit (RS) Mata Cicendo Bandung, donor mata hanya melibatkan pengambilan kornea, bukan bola mata secara keseluruhan.

"Donor kornea sendiri kita ambil bukan satu bundelan bola mata tapi hanya kornea atau selaput bening yang diambil dan setelah itu bekas pengambilan itu kita tutup dengan eyecatch yang menyerupai kornea juga dan jika kita lihat secara sepintas seolah-olah tidak ada yang hilang," kata Arief kepada detikJabar belum lama ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Arief menjelaskan siapa saja dapat menjadi pendonor kornea mata, asalkan memiliki niat dan kemauan yang kuat. Setelah itu, calon pendonor akan menjalani serangkaian tes kesehatan untuk memastikan kelayakan. Untuk batasan umur, selama calon pendonor sehat, meski sudah lanjut usia (lansia) masih bisa menyumbangkan kornea matanya.

"Kalau di Amerika ada konsensus kalau bisa di bawah 65 tahun usia pendonornya, tapi kalau kita lihat di studi lain usia tidak terpengaruh bahkan yang lebih dari 70 tahun pun masih bisa diambil, yang utama tetap mau, niat dan sehat," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

Sehat di sini, menurut Arief calon pendonor tidak memiliki penyakit menular. "HIV, hepatitis dan sifilis, kalau bebas dari itu bisa menjadi pendonor. Hal-hal lain juga ada yang mensyaratkan kalau bisa tidak di di tato dalam 6-12 bulan dan tidak ada kebiasaan menggunakan obat-obat terlarang, serta indikasi mutlak yang harus dimiliki oleh pendonor tapi ada juga beberapa syarat lain dan bisa disesuaikan," jelasnya.

Bagi penerima donor, kondisi klinis menjadi pertimbangan utama. Salah satu indikasi yang sering ditemukan adalah infeksi pada kornea yang meninggalkan bekas luka dan menghalangi penglihatan. Teknologi saat ini memungkinkan penggantian kornea tidak harus secara keseluruhan.

"Paling sering karena kornea selaput yang bening dan transparan yang ada di mata. Kalau tidak bening lagi, penglihatannya terhalang utamanya akan buram dan berkilau karena korneanya tidak jernih. Misalnya karena riwayat infeksi atau karena kelainan bentuk anatomi kornea, biasanya bawaan lahir," tuturnya.

Infeksi atau kelainan bawaan sering menjadi alasan utama untuk transplantasi kornea. Penggantian dapat dilakukan pada satu mata saja, tergantung pada kondisi pasien. Namun, jika melibatkan kelainan genetik, prosedur biasanya dilakukan pada kedua mata secara bertahap.

Arief juga menyoroti pentingnya perlindungan mata, terutama bagi pekerja di sektor berisiko tinggi seperti petani atau pekerja pabrik. "Infeksi, mungkin terjadi pada saat bekerja kena sesuatu atau petani yang bekerja di perkebunan dan hutan terkena trauma vegetatif istilahnya, kena tanaman tumbuhan dan terkena tanah itu cukup sering, indikasi kasus-kasus infeksi dan biasanya terjadi hanya 1 mata," ujarnya.

"Kembali lagi, karena kebanyakan kasus infeksi dan kecelakaan kerja lebih preventif nya pekerja ini gunakan alat proteksi yang seharusnya begitu pun kecelakaan kerja perusahaan yang berpotensi menggunakan betul-betul ada portal safety yang ideal karena saat kejadian tak gunakan alat pelindung, lebih hati-hati ya," pungkasnya.

(wip/iqk)


Hide Ads