Perjalanan Dakwah Mbah Mutamakkin yang Konon Keturunan Joko Tingkir

Perjalanan Dakwah Mbah Mutamakkin yang Konon Keturunan Joko Tingkir

Dian Utoro Aji - detikJateng
Selasa, 27 Sep 2022 18:42 WIB
Penampakan koleksi Museum Kajen Mbah Ahmad Mutamakkin di Masjid Kajen, Pati. Ada aneka foto tempo dulu, dan manuskrip lawas.
Museum Kajen Mbah Ahmad Mutamakkin di Masjid Kajen, Pati (Foto: Dian Utoro Aji/detikJateng)
Pati -

Masjid Kajen di Margoyoso, Pati punya museum baru yang diberi nama Museum Kajen Mbah Ahmad Mutamakkin yang diambil dari nama ulama tersohor abad ke-16. Seperti apa sosoknya?

Untuk diketahui Museum Kajen Ahmad Mutamakkin baru diresmikan pada akhir bulan Agustus 2022 lalu. Selain ada museum juga ada makam Mutamakkin dan masjid Jami' yang merupakan peninggalan Mbah Ahmad Mutamakkin.

Bangunan masjid ini masih berdiri kokoh dan masih digunakan untuk ibadah. Jalan pedesaan setempat pun juga diberi nama Ahmad Mutamakkin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua Museum Kajen Mbah Ahmad Mutamakkin, Zuli Rizal mengatakan sosok Ahmad Mutamakkin berasal dari Tuban, Jawa Timur. Mutamakkin disebut-sebut masih keturunan dari Joko Tingkir.

"Aslinya dari Tuban, beliau itu masih cicit Sultan Hadi Wijaya, jadi Mbah Ahmad Mutamakkin itu (nama) aslinya Raden Sumohadi Wijaya bin Raden Sumohadinegara bin Sumahadiningrat Sultan Hadiwijaya atau yang dikenal dengan Joko Tingkir," kata Rizal saat ditemui di Museum Kajen, Selasa (27/9/2022).

ADVERTISEMENT

Rizal lalu bercerita kisah Mbah Mutamakkin akhirnya bisa ke Desa Kajen Kecamatan Margoyoso. Dia menyebut cerita itu berawal dari sepulangnya Mutamakkin dari Timur Tengah.

Rizal menyebut kala itu Mbah Mutamakkin terdampar di sebuah Pantai Cebolek yang kini menjadi Desa Bulumanis, Kecamatan Margoyoso. Mutamakkin awalnya tinggal di daerah Pantai Cebolek sebelum pindah ke Kajen.

"Pas perjalanan pulang dari Timur Tengah tenggelam di lautan dan ditolong akhirnya terdampar dan sampai ini di Pantai Cebolek. Awalnya beliau tinggal di Cebolek," jelas Rizal.

Suatu ketika, Mbah Mutamakkin melihat cahaya yang berasal dari daerah Kajen. Cahaya itu diyakini dari Mbah Shamsuddin seorang keturunan ningrat yang ada di Pati.

Penampakan koleksi Museum Kajen Mbah Ahmad Mutamakkin di Masjid Kajen, Pati. Ada aneka foto tempo dulu, dan manuskrip lawas.Penampakan koleksi Museum Kajen Mbah Ahmad Mutamakkin di Masjid Kajen, Pati. Ada aneka foto tempo dulu, dan manuskrip lawas. Foto: Dian Utoro Aji/detikJateng

Mbah Mutamakkin pun mencari cahaya tersebut. Singkat cerita Mutamakkin diajak tinggal bersama oleh Mbah Shamsuddin diangkat menjadi muridnya.

"Suatu ketika saat malam selesai salat isya melihat cahaya terang sekali, di area barat menjulang bawah ke langit. Itu cahaya Mbah Shamsuddin atau Surya Alam. Itu juga ningrat di sini, itu cahaya salat tahajud," terang Rizal.

"Singkat cerita Mbah Mutamakkin diminta Mbah Samsudin tinggal di Kajen, dinikahkan dengan Mbah Nyai Shalihah dan punya tiga putra," imbuh Rizal.

Akhirnya Mbah Mutamakkin pun mendirikan masjid di Desa Kajen. Masjid tersebut digunakan sebagai tempat dakwah dan mengajar para santri, sejak saat itulah Kajen dikenal sebagai pusat santri di Pati.

Museum Kajen Mbah Ahmad Mutamakkin di PatiMuseum Kajen Mbah Ahmad Mutamakkin di Pati Foto: Dian Utoro Aji/detikJateng

"Akhirnya Mbah Mutamakkin mendirikan masjid ini untuk dakwah mengajar santri di sini. Padepokan di sarean (makam) tersebut. Dari situ mengajarkan ilmu ke anak ke cucu sampai sekarang Kajen dikenal menjadi sentral santri berkat Mbah Mutamakkin. Beliau wali Allah yang juga darah biru juga," terangnya.

Rizal menambahkan sosok Mutamakkin dikenal tidak suka dengan kemewahan duniawi. Mbah Mutamakkin juga dikenal sungguh-sungguh saat mencari ilmu bahkan dia sampai ke Timur Tengah dan Persia.

"Terus beliau menasbihkan untuk ilmu belajar sungguh-sungguh. Beliau mencari ilmu sampai ke Timur Tengah, itu ke Yaman ke Persia. Beliau terkenal juga ketika mencari ilmu sungguh-sungguh langsung ke sana haji juga," ujar dia.

Masyarakat mengenal Mbah Mutamakkin sebagai Mbah Surgi. Makna Surgi kata dia tertatih-tatih tapi membuat berkah bagi masyarakat di Kajen.

"Di sini itu dikenal dengan Mbah Surgi ya, di Kajen akrabnya Mbah Surgi, gasur-gasur tapi mareki (tertatih-tatih tapi membuat kenyang), wong (orang) Kajen pekerjaan sepele jualan tape, lontong tapi kebanyakan bisa haji. Ini artinya tidak kenyang hanya perut melainkan juga hal apapun," pungkas dia.




(ams/sip)


Hide Ads