Zonasi

Kolom Minggu Pagi

Zonasi

Muchus Budi R. - detikJateng
Minggu, 03 Jul 2022 08:25 WIB
Ilustrasi PPDB (Andhika Akbarayansyah)
Foto: Ilustrasi PPDB (Andhika Akbarayansyah)
Solo -

Kontroversi penerapan zonasi seakan menjadi persoalan selalu berulang dalam pendaftaran calon peserta didik. Setiap tahun selalu menjadi persoalan. Saya pasti tak mau menyebut selalu berulang-ulangnya persoalan kontroversial ini sebagai kebebalan pemangku kewenangan, meskipun sejujurnya memang belum menemukan istilah yang lebih tepat untuk menamainya.

Zonasi menjadi momok besar yang datang setiap masa pendaftaran sekolah. Anak yang tinggal hanya berseberangan jalan dengan sebuah sekolah, tidak bisa mendaftar ke sekolah tersebut karena lokasi tinggalnya tidak termasuk zonasi sekolah tersebut.

Kawasan-kawasan tertentu mendapat jatah sekolah yang berjarak belasan kilometer dari rumahnya. Padahal semangat awal menerapkan zonasi adalah untuk mendekatkan peserta didik dengan sekolah dan menghindarkan orang pilih-pilih sekolah agar tidak terjadi penumpukan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kajian-kajian akademik tentang pemberlakuan zonasi adalah untuk membuat pemerataan mutu pendidikan dan memberi kesempatan sama bagi seluruh peserta didik, akhirnya layak dipertanyakan.

Alasan bahwa membuat zonasi adalah agar peserta didik tetap bergembira belajar, dan tak terbebani stres di perjalanan berangkat maupun pulang sekolah karena jauhnya jarak, harus dikaji lagi jika melihat kenyataan di lapangan bahwa jatah zonasi itu adalah sekolah yang lebih jauh dari lokasi domisili.

ADVERTISEMENT

Membuat aturan ideal dengan berbagai latar belakang keinginan muluk-muluk namun mengabaikan kondisi objektif di lapangan, adalah keputusan yang layak disebut mencari sensasi belaka.

Bagaimana mungkin menerapkan seleksi calon peserta didik berdasarkan jarak domisili dengan lokasi sekolahan, jika tidak terlebih dulu memindahkan sekolah-sekolah yang menumpuk di satu titik ke lokasi yang merata di semua permukiman warga. Belum lagi persoalan sarana penunjang teknologi yang memang belum memadai dan justru sering semakin bikin runyam kondisi.

Lagi pula apakah para pemangku kewenangan pernah mengecek langsung misteri pembengkakan kartu keluarga dan surat keterangan domisili di perkampungan dekat sekolah-sekolah tertentu.


Dan, yang lebih menyempurnakan kesakitan perasaan warga yang sedang berjuang keras memutar otak untuk mencari jalan keluar agar hidupnya tetap masuk akal, justru para pendengung kebijakan sensional itu ramai-ramai membuat perundungan yang diamplifikasi oleh sesama mereka. Entah terbuat dari apa hati mereka.

Akhirnya memang yang perlu disentuh adalah soal membuka kembali kesadaran bersama bahwa memang kita belum siap menerapkan aturan ideal karena masih belum menata sarana pendukung utama terlebih dulu.

Lebih dari itu semua adalah semoga kita tetap berpikir agar kewarasan kita kembali mengambil alih semua keputusan.

Bisa jadi, sepanjang hidupnya seekor unta telah mengadakan ratusan bahkan ribuan kali perjalanan dari Makkah ke Madinah dan sebaliknya. Namun demikian, si unta yang rajin itu tidak pernah berhaji, karena dia tidak pernah berpikir.




Solo, 3 Juli 2022


Muchus Budi R adalah wartawan detikcom

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi.




(mbr/ams)


Hide Ads