Hananonton ringit mananis asekel muda hidepan huwus wruh tuwin yan walulan inukir molah anucap hatur nin wan tresnen wiyasa malaha ta wihikanari tatwa nyan maya sahana-hana nin bawa siluman.
Terjemah:
Ada orang yang menonton wayang menangis sedih. Bodoh benar dia. Padahal sudah tahu juga bahwa yang bergerak dan berbicara itu kulit yang ditatah. Memang, kata orang dia sedang terkena daya gaib, sedangkan seharusnya dia tahu bahwa pada hakekatnya (pertunjukan) itu hanyalah palsu, segala yang ada ini maya belaka.
(Mpu Kanwa, 'Kakawin Arjunawiwaha', Sarga V, Cloka 9)
Bagi orang Jawa, wayang kulit telah menjadi bagian integral dari kehidupan budayanya. Wayang yang telah mereka miliki selama belasan abad itu dijadikan referensi, pemandu laku, pelajaran, cerminan, media perenungan, perumpamaan, ledekan, sekaligus juga dijadikan bukan apa-apa oleh sebagian dari mereka sendiri.
Kata wayang itu sendiri memang berarti bayangan; pertunjukan bayang-bayang karena memang seharusnya ditonton dari sebalik kelir, sekaligus menjadi makna bahwa pertunjukan itu adalah bayangan dari kehidupan yang bisa diambil makna, pesan serta amanat ceritanya.
Wayang kulit asli buah karya bangsa ini. Wayang semula adalah citraan atau perwujudan para leluhur lokal masing-masing daerah atau pedukuhan. Pertunjukan wayang pada masa itu mengisahkan cerita-cerita leluhur mendirikan permukiman, keperkasaan mempertahankan daerah dari serangan lawan atau ketabahan melawan bencana yang menimpa.
Cerita wayang kulit selanjutnya mengambil cerita dua epos besar dari India, Ramayana dan Mahabharata, seiring masuknya pengaruh Hindu di bumi Nusantara. Setelah itu wayang semakin mendapat tempat secara luas dalam budaya masyarakat karena cerita menjadi lebih baku dan bisa dipahami secara luas di semua daerah.
Melihat keberadaannya yang selalu mampu mengumpulkan banyak orang maka nasib baik masih selalu mengikuti. Di masa awal Islam masuk ke tanah Jawa, wayang diperlakukan khusus oleh para pedakwah. Dengan melakukan perubahan dan penggubahan, baik bentuk fisik maupun cerita yang lalu bermuatan misi dakwah; memasukkan ajaran-ajaran keagaman dan nilai-nilai keagamaan secara halus dan nyaman dalam penceritaan. Astabrata misalnya, yang semula disimbolkan delapan dewa lalu diubah menjadi delapan anasir alam.
Di era kerajaan, wayang yang sangat digemari rakyat, diperhatikan khusus oleh penguasa. Keraton Surakarta mendirikan Padhasuka (Pasinaon Dhalang Surakarta) pada tahun 1923 sebagai tempat para dalang muda mencari bekal keahlian. Di Keraton Yogyakarta didirikan Habirandha (Hanindakake Biwara Rancangan Dhalang) pada 1925. Tak ketinggalan pula, Pura Mangkunegaran mendirikan PDMN (Pasinaon Dhalang Mangkunegaran).
Perannya sebagai pengumpul massa juga membuatnya dirangkul secara khusus oleh lembaga-lembaga kesenian yang berafiliasi ke partai politik di masa Orde Lama seperti LKN milik PNI, Lekra milik PKI dan Lesbumi milik NU. Demikian juga ketika Golkar berjaya sendirian di masa Orde Baru, banyak dalang dihimpun dalam Lesenbud.
Sukarno yang paham bahwa rakyatnya adalah masyarakat yang dibesarkan oleh wayang, di banyak pidatonya sering mengutip idiom-idiom dan jargon dari dunia pewayangan. Ketika menantang Nekolim dia sesumbar 'ini dadaku, mana dadamu' yang itu adalah peng-Indonesia-an dari sesumbar para ksatria di pewayangan ketika menghadapi musuhnya. Gambaran Sukarno tentang kemakmuran yang ideal pun menyebut kerajaan Amarta.
Ketika Sukarno tumbang, kaum Orde Baru juga serta merta gampang mencarikan perumpamaan baru dari pewayangan. Ramai-ramai mereka menggelar pertunjukan lakon 'Rama Tambak' yang menggambarkan kesatupaduan dan kegotongroyongan TNI dengan rakyat untuk mencapai tekad bersama. Gambarannya Soeharto adalah Sri Rama yang didukung semesta.
Wayang memang pada akhirnya tak melulu merupakan sebuah pengisahan cerita. Wayang adalah ruang refleksi kehidupan. Grandeurisasi kebudayaan yang diciptakan oleh masyarakat pendukungnya, telah mengantarkan wayang sebagai seni bayang-bayang kehidupan mereka sendiri.
Dalam wayang klasik Jawa, terdapat 125 buah anak wayang yang memiliki karakter masing-masing sesuai penokohannya. Konon 125 tokoh itu adalah jumlah irisan karakter manusia. Dari 125 tokoh itu, penonton bisa bercermin seperti apa dirinya menjalani laku hidup, menjalin komunikasi dengan sesama, mengambil keputusan ketika diuji dengan gelimang harta atau kekuasaan, hingga bagaimana tingkat pendekatannya kepada Sang Pencipta dalam menjalani lakon kehidupannya.
Nasib baik wayang mungkin kini sedang diuji. Pendangkalan pemahaman tentang kearifan kemanusiaan memang sedang terjadi di berbagai lini, tak terkecuali pada panduan nilai lokal melalui kebudayaannya sendiri. Masyarakat yang telah digasak oleh 'kampanye' penyeragaman gaya hidup sedikit demi sedikit dihilangkan ingatan kolektifnya sehingga meninggalkan panduan wayang, membuang dan menista bayang-bayang kehidupannya sendiri.
Mereka telah meninggalkan warisan tak ternilai harganya berupa media pembelajaran sosial yang telah membesarkan bangsanya selama berabad-abad. Selebihnya mereka menyuntuki kebanggaannya memasuki sebuah dunia global yang seragam; tanpa pilah, tanpa identitas, tanpa kekhasan sehingga hantam kromo menghadapi problem sosial yang sesungguhnya memiliki kekhasan masing-masing,
Baca juga: Persandian Tahun dalam Wayang Kulit |
Penyeragaman gaya hidup yang bisa jadi merupakan agenda dari homogenisasi kebudayaan inilah yang sedang gencar dijual melalui iklan yang dijejalkan dan dijejaskan dalam memori kita melalui berbagai media. Jika Herbert Marcuse pernah menyoal tentang 'one-dimensional man', globalisasi nampaknya akan membawa kita ke arah 'one-dimensional society'.
Jejalan dan jejasan itu mungkin akan diantarkan kepada kita melalui pemahaman modernisasi, gaya hidup, ideologi, tata nilai, etika universal yang mengabaikan emika, atau mungkin juga melalui pengantar dogma-dogma keagamaan yang sedemikian letterlijk atas nama 'pemurnian'.
Pada dataran ini, manusia seolah-olah hanya terdiri dari darah dan daging, tak ada kebudayaan yang --meminjam istilah Gus Dur-- menjadi ruang kesepahaman nilai yang dengannya masyarakat pendukungnya akan terpandu dalam ruang toleransi.
(mbr/aku)