Ada dua cara membuat sengkalan. Pertama, berupa tulisan atau kata-kata/kalimat. Cara kedua berupa simbol gambar yang disebut sengkalan memet. Sedangkan cara membacanya harus dilakukan secara terbalik.
Pada wayang kulit klasik, banyak ditemui simbol-simbol yang merupakan penanda tahun pembuatannya. Dalam 'Serat Sastramiruda' karya KP Kusumodilogo mencatat setidaknya ada 13 wujud wayang kulit yang mengandung sengkalan memet.
1. Gunungan Blumbangan. Gunungan bergambar blumbang atau telaga. Di sebaliknya tergambar api berkobar yang bisa dibaca geni dadi sucining jagad, merujuk pada angka 1443 tahun Jawa atau 1525 Masehi. Wayang ini dibuat para wali saat memperbaharui perwujudan wayang kulit purwa.
2. Gunungan Gapuran. Bergambar gapura dijaga dua raksasa memanggul gada. Dibuat pada masa pemerintahan Paku Buwono II di Keraton Kartasura, sebelum pusat kerajaan Mataram pindah ke Solo.
Gunungan ini semula hanya digunakan untuk wayang krucil yang mengisahkan lakon Damarwulan di Kerajaan Majapahit sehingga gapura yang digambarkan meniru gapura Candi Bajang Rati di Trowulan, Mojokerto.
Gambar di gunungan tersebut dibaca gapura lima retuning bumi atau 1659 Jawa (1734 Masehi)
3. Bathara Guru naik lembu Andini. Wayang tersebut karya Sunan Giri. Sengkalan memet dari gambar dalam wayang ini dibaca salira dwija dadi raja yang menandakan tahun 1478 Jawa atau 1558 Masehi.
4. Bathara Guru memenang cis dilingkari naga. Masih dibuat oleh Sunan Giri untuk wayang gedhog. Bathara Guru menggengam senjata cis yang di bagian tangkainya dilingkari naga. Perwujudan itu dibaca gaman naga kinaryeng dewa = 1485 Jawa (1565 Masehi).
5. Penembahan Senopati di Mataram juga menambah koleksi wayang kulit purwa dengan menciptakan Bathara Guru menapak bumi dan menggenggam senjata cis. Perwujudan ini dikalimatkan menjadi dewa dadi ngecis bumi = 1541 Jawa (1620 Masehi).
6. Bathari Durga berdiri di atas batu cadas yang dirimbuni tumbuhan merambat. Dibuat pada masa pemerintahan Amangkurat I (Amangkurat Agung) di Mataram. Sengkalannya adalah watu tetungganganing buta widadari = 1571 Jawa (1649 Masehi).
7. Untuk wayang gedhog, Paku Buwono II menciptakan wayang berwujud Bathari Durga memakai sepatu, memakai keris, berada di tengah hutan. Perwujudan yang sedemikian rupa ini dibaca wayang misik rasaning widadari = 1656 Jawa (1731 Masehi).
8. Pada masa Panembahan Hanyokrowati di Mataram, diciptakan sebuah wayang yang sangat populer hingga sekarang, yaitu Buta Penyareng atau Gendir Penjalin atau biasa disebut Cakil.
Berbeda dengan perwujudan raksasa pada umumnya, Cakil berperawakan trincing (ramping) mirip manusia, bermata satu dan kedua tangannya bisa digerakkan. Perwujudan itulah yang dijadikan penanda tahun pembuatannya: tangan yaksa satata janma = 1552 Jawa (1630 Masehi).
9. Setahun kemudian, penggantinya yakni Sultan Agung Hanyokrokusumo, menciptakan wayang buta begalan yang kemudian disebut Buta Rambut Geni. Berperawakan jambu, berambut merah gimbal, bertaji di kakinya. Pemberian taji inilah yang kemudian dibaca jalu yaksa tinata ratu = 1553 Jawa (1631 Masehi).
10. Ada lagi wayang warna badan abu-abu, hanya memakai cancut (celana dalam) dan memegang gada. Wayang buta alasan --(alas: hutan)-- ini mengandung sengkalan berbunyi wayang buta ing wana tunggal = 1556 Jawa (1634 Masehi). Dibuta ada masa pemerintahan Amangkurat I (Amangkurat Agung) di Mataram.
11. Pada Buta Endhog, raksasa plontos, leher pendek, hidung bundar seperti terong gelatik, bermata satu, sengkalannya berbunyi marga sirna wayanging raja = 1605 Jawa (1682 Masehi). Dibuat pada masa Amangkurat II (Amangkurat Amral) di Mataram.
12. Ada juga wayang raksasa perempuan berpakaian laki-laki, bermata satu dan kedua tangan lepas (bisa digerakkan). Wayang yang lazim disebut Buta Kenya Wandu ini dibuat Pangeran Puger di Kartasura sebelum naik takhta bergelar Paku Buwono I. Penanda tahunnya berbunyi buta nembah rasa tunggal = 1625 Jawa (1701 Masehi).
13. Terakhir pada wayang raksasa berhidung seperti buah terong yang lazim disebut Buta Terong. Wayang ini sering muncul bersama empat raksasa lain sebagai anak buah Buta Cakil. Sengkalannya berbunyi buta lima ngoyag jagad = 1655 Jawa (1730 Masehi), pada masa pemerintahan Paku Buwono II di Kartasura.
(mbr/sip)