Membaca Polemik Wayang Lewat Kisah Fatwa Kentongan Kiai Hasyim

Membaca Polemik Wayang Lewat Kisah Fatwa Kentongan Kiai Hasyim

Dinda Leo Listy - detikJateng
Rabu, 16 Feb 2022 08:27 WIB
Gus Dur
Gus Dur. (Foto: Getty Images)
Solo -

Polemik ihwal wayang yang hangat di media belakangan ini mengingatkan kisah tentang kentongan pada masa awal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Tentu tak sama, karena dalam kisah kentongan ini tak ada kata-kata yang mengharamkan apalagi memusnahkan.

Dalam esainya yang berjudul Tata Krama dan 'Ummatan Wahidatan, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur bercerita tentang fatwa KH M Hasyim Asy'ari bahwa kentongan tidak diperkenankan untuk memanggil salat dalam hukum Islam.

Fatwa tersebut disampaikan Kiai Hasyim, yang tak lain adalah kakek Gus Dur, melalui artikel yang dimuat di jurnal ilmiah bulanan Nahdlatul Ulama edisi perdana terbitan 1928.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dasar dari pendapatnya (Kiai Hasyim) itu adalah kelangkaan hadis Nabi; biasanya disebut sebagai tidak adanya teks tertulis (dalil naqli) dalam hal ini," tulis Gus Dur, dikutip dari kumpulan esainya yang dibukukan The Wahid Institute dengan judul Islamku Islam Anda Islam Kita, Agama Masyarakat Negara Demokrasi (2006).

Terlepas dari nama besar Kiai Hasyim, sebagai ulama bergelar Hadratussyaikh dan pendiri sekaligus pimpinan tertinggi pertama NU, artikelnya yang memuat fatwa soal kentongan itu tetaplah sebuah tulisan.

ADVERTISEMENT

Singkat cerita, lewat jurnal yang sama pada edisi bulan berikutnya, Kiai Faqih dari Maskumambang Gresik menyanggah fatwa soal kentongan itu. Kiai Faqih adalah wakil Kiai Hasyim. Beliau juga salah satu ulama besar yang turut mendirikan NU.

Dalam alam demokrasi kita kenal adanya prinsip kebebasan berpendapat. Kata dibalas kata, tulisan dibalas tulisan. Ternyata, prinsip itu sudah berlaku di NU hampir seabad lalu, 17 tahun sebelum Indonesia merdeka, 80 tahun sebelum munculnya UU ITE.

Saat itu, Kyai Faqih menulis dalam artikelnya bahwa kentongan bisa dianalogikan kepada beduk sebagai alat pemanggil salat. Maka itu, beliau berpendapat kentongan mestinya tidak dilarang.

"Karena beduk diperkenankan, atas adanya sumber tertulis (dalil naqli) berupa hadis Nabi Muhammad SAW mengenai adanya atau dipergunakannya alat tersebut pada zaman Nabi, maka kentongan pun harus diperkenankan," tulis Gus Dur menyitir pendapat Kyai Faqih.

Bukannya tersinggung oleh artikel Kiai Faqih, Kiai Hasyim justru memanggil ulama se-Jombang dan para santri seniornya untuk berkumpul di Pesantren Tebu Ireng. Kemudian, beliau meminta agar tulisannya dan tulisan Kiai Faqih dibacakan.

Setelah itu, para ulama dan santri dibebaskan memilih kentongan atau beduk sebagai alat pemanggil salat. Sekali lagi, prinsip demokrasi dijalankan di sini. Kiai Hasyim menghargai 'kebenaran' yang diyakini Kiai Faqih dan tak memaksakan orang lain agar mengikuti 'kebenaran' yang diyakininya.

Saat itu Kiai Hasyim hanya meminta satu hal, yakni kentongan tidak digunakan di Masjid Tebu Ireng Jombang, di pondok pesantren yang dia dirikan. Kalau di luar Tebu Ireng, ya silakan saja.

Singkat cerita, pada bulan berikutnya, Kiai Hasyim diundang ke Pesantren Maskumambang Gresik untuk berceramah. Ternyata, tiga hari sebelum kedatangan sang pimpinan, Kiai Faqih mengirim para utusannya untuk menemui takmir di semua masjid dan surau di Gresik. Beliau meminta agar seluruh kentongan diturunkan selama Kiai Hasyim di Gresik.

"Meyakini sebuah kebenaran, tidak berarti hilangnya sikap menghormati pandangan orang lain, sebuah sikap tanda kematangan pribadi kedua tokoh tersebut," tulis Gus Dur, cucu Kiai Hasyim, Presiden ke-4 Indonesia itu.

Meski berbeda pendapat soal kentongan, Kiai Hasyim dan Kiai Faqih tak saling menyalahkan. Keduanya tetap menghargai pilihan masing-masing.

Sebagai pemimpin, Kiai Hasyim tentu mahfum bahwa tanpa kritik sama artinya tak ada demokrasi dalam organisasi yang didirikannya pada 1926. Pun sebaliknya Kiai Faqih, kritik baginya adalah penilaian yang berlandaskan akal sehat, bukan tulisan atau ucapan yang menjelek-jelekkan.

Fatwa tentang kentongan telah dinyatakan. Kritik pun dilayangkan. Karena sama-sama berdasar pada keilmuan tanpa diboncengi perasaan sentimen atau sikap emosional, tak perlu ada polemik yang berujung pada klarifikasi atau permintaan maaf. Sebab, tak ada yang tersakiti di sini.




(dil/sip)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads