Ramadan Berdarah 1946: Pertempuran Tjidjoho dan Gekbrong Saat Puasa

Lorong Waktu

Ramadan Berdarah 1946: Pertempuran Tjidjoho dan Gekbrong Saat Puasa

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Jumat, 28 Mar 2025 20:30 WIB
Lorong Waktu.
(Foto: Ilustrasi Oris Riswan Budiana/detikJabar)
Sukabumi -

Bulan Ramadan 1946 menjadi saksi bagaimana para pejuang Siliwangi harus menahan lapar, haus, sekaligus terjangan peluru di medan tempur. Dalam kondisi berpuasa, mereka tak hanya diuji secara fisik, tetapi juga harus menghadapi tentara Belanda yang berusaha merebut kembali Jawa Barat. Dua pertempuran besar di Tjidjoho (Kini Cijoho) dan Gekbrong Cianjur, menjadi catatan heroik tentang keberanian mereka melawan kolonialisme.

Kisah ini dikutip detikJabar dari buku Siliwangi Dari Masa Ke Masa yang disusun oleh Sejarah Militer Kodam VI Siliwangi dan diterbitkan oleh Fakta Mahjuma Djakarta pada tahun 1968 cetakan pertama. Catatan mengenai pertempuran ini ada di halaman 104 hingga 106.

Magrib Berdarah di Tjidjoho

Hari kedua Ramadan 1946, pasukan Seksi Sarmada dari Batalyon Kemal Idris bergerak ke arah Warungkondang. Ada laporan bahwa pasukan Belanda berada di sana. Namun, setibanya di Tjilaku, tempat yang diduga menjadi lokasi pasukan lawan, mereka tidak menemukan apa pun. Informasi yang masuk menyebutkan Belanda telah bergerak ke Tjikantjana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seksi Sarmada (Mengacu pada unit yang dipimpin oleh Letnan Sarmada, bagian dari Batalyon II di bawah komando Mayor Kemal Idris dalam Divisi Siliwangi) terus melanjutkan perjalanan ke sana. Saat itu matahari mulai tenggelam. Waktu berbuka puasa telah tiba, tetapi tugas belum selesai. Para prajurit menahan lapar dan haus, memilih untuk tetap fokus pada misi.

"Mengingat tugas jang dihadapi, maka anggauta-anggauta Seksi Sarmada menunda saat berbuka Puasa itu, apalagi ketika dengan tiba-tiba tampak seseorang di atas sebuah djembatan. Karena hari sudah mulai gelap, maka tidaklah djelas dapat diketahui apakah itu kawan atau lawan. Guna mengetahuinja maka dari fihak pasukan Sarmada mengeluarkan tegoran. Djawaban atas tegoran itu ternjata segera diperoleh, bukan berupa kata-kata akan tetapi berbentuk tembakan-tembakan gentjar. Dengan demikian dapatlah dipastikan, bahwa disitu terdapat kedudukan Belanda," tulis buku itu.

ADVERTISEMENT

Di atas sebuah jembatan yang mulai diselimuti kegelapan, muncul sosok mencurigakan. Pasukan Sarmada meneriakkan teguran, tetapi yang datang bukan jawaban, melainkan rentetan tembakan. Belanda sudah menunggu.

Bak gayung bersambut, pasukan Sarmada langsung membalas tembakan dengan intensitas lebih tinggi. Baku tembak berlangsung dalam gelap. Beberapa serdadu Belanda tumbang. Pasukan Siliwangi berhasil merebut baby-mortier serta stengun lengkap dengan amunisinya.

Namun, kemenangan ini dibayar mahal, ketika Kopral Sahibun dan Prajurit Aminin (Dua anggota pasukan Siliwangi yang berperan dalam pertempuran Tjidjoho pada tahun 1946) diperintahkan untuk melaporkan keberhasilan serangan ke markas, mereka gugur di tengah perjalanan. Hujan mortir Belanda yang ditembakkan secara membabi buta merenggut nyawa keduanya.

Pertempuran di Tjidjoho menjadi prolog bagi serangan yang lebih besar dua hari kemudian. Belanda, yang tak terima kehilangan posisi, bersiap membalas dendam.

Serangan Balasan di Gekbrong

Belum sempat pasukan Siliwangi beristirahat, dua hari setelah pertempuran di Tjidjoho, mereka kembali harus menghadapi serangan besar dari Belanda. Kali ini, pasukan kolonial bergerak ke Gekbrong dengan kekuatan penuh.

Sebelumnya, Komandan Overste Edi Sukardi telah merancang serangan umum ke Cianjur. Rencana itu melibatkan pasukan dari Tangerang serta pejuang bersenjata dari selatan. Namun, kebocoran informasi membuat operasi itu dibatalkan. Situasi berubah.

"Sebelum pertempuran tersebut meletus, Overste Edi Sukardi telah merentjanakan suatu serangan umum terhadap kedudukan Belanda jang berada di Tjiandjur. Rentjana serangan umum jang telah tersusun itu, ternjata gugur dalam kandungan, karena mengalami kebotjoran. Andaikata serangan umum itu dilaksanakan, maka setidak-tidaknja fihak Belanda akan mengalami kerugian jang tidak sedikit, karena disamping serangan jang akan dilakukan oleh dua kompi satuan TRI dari Tangerang," tulis buku itu.

Kompi Sujoto dari Batalyon Kemal Idris tetap bertahan di Warungkondang. Sementara itu, Seksi Azil Haznam mengambil posisi di Kampung Kebon Peuteuj. Belum lama bersiap, pasukan Belanda dengan kekuatan sekitar dua kompi tiba-tiba menyerang.

Pertempuran pecah, seksi Azil (Seksi Azil - unit militer kecil dalam Kompi II Sujoto yang dipimpin oleh Letnan Azil Haznam) terdesak. Letnan Azil Haznam dan enam anak buahnya gugur. Belanda, yang merasa di atas angin, tak menyangka bahwa serangan balasan justru datang lebih keras.

Menjelang dini hari di hari keempat Ramadan, satuan lain dari Kompi Sujoto menyerbu dengan intensitas tinggi. Tak ada lagi jarak. Tembakan dari kedua belah pihak semakin membabi buta.

"Geranat dari keduabelah fihak beterbangan dan meledak merobek-robek tubuh jang berada didekatnja ataupun disekitarnja untuk kemudian dipuntjaki oleh pertempuran seorang lawan seorang, sampai pada popor bedil lawan popor bedil jang sengit tanpa ampun dan belas kasihan," tulis buku tersebut.

Granat beterbangan, meledak di tengah pasukan membuat tubuh-tubuh tercabik, tanah bergetar. Pertempuran akhirnya berubah menjadi duel satu lawan satu. Bayonet beradu bayonet. Popor senapan menghantam wajah dan tubuh lawan tanpa ampun.

Belanda keliru dalam menilai daya juang pasukan Siliwangi. Mereka mengira para pejuang akan gentar, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Seperti banteng terluka, pasukan Siliwangi mengamuk di medan tempur.

Setelah pertempuran sengit yang berlangsung berjam-jam, pasukan Kompi Sujoto akhirnya mundur ke Sukalarang (Sukalarang - Kabupaten Sukabumi berbatasan dengan Kabupaten Cianjur).

Puasa, Peluru dan Perlawanan

Pertempuran di Tjidjoho dan Gekbrong adalah bukti bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan tidak hanya mengandalkan senjata, tetapi juga keteguhan hati. Para pejuang Siliwangi tidak hanya melawan penjajah, tetapi juga menahan lapar dan haus di bulan suci.

"Waktu itu sudah remang-remang magrib, sudah saatnja untuk berbuka Puasa. Mengingat tugas jang dihadapi, maka anggauta-anggauta Seksi Sarmada menunda saat berbuka Puasa itu, apalagi ketika dengan tiba-tiba tampak seseorang di atas sebuah djembatan. Karena hari sudah mulai gelap, maka tidaklah djelas dapat diketahui apakah itu kawan atau lawan," catat buku tersebut.

Di tengah dentuman mortir dan desingan peluru, mereka tetap berpegang teguh pada prinsip, kemerdekaan lebih penting daripada berbuka tepat waktu.

Sejarah mencatat bahwa perang ini tidak hanya soal strategi dan senjata, tetapi juga soal keberanian dan keyakinan. Putra-putra Siliwangi telah menunjukkan bahwa Ramadan bukan alasan untuk mundur, melainkan menjadi ladang ujian bagi keteguhan mereka dalam mempertahankan tanah air.




(sya/orb)


Hide Ads