Darma bercerita tentang nasibnya sebagai nelayan. Sejak masih bocah, ia tengah akrab dengan angin laut dan jaring ikan.
"Saya dari kecil jadi nelayan, semenjak umur 13 tahun, sampai sekarang umur 66 tahun masih jadi nelayan," tutur Darma, belum lama ini.
Darma memaparkan, tidak seperti dulu, sekarang nelayan di Desa Waruduwur hidup dalam kondisi yang serba sulit. Menurutnya, dalam beberapa tahun terakhir hasil laut seperti ikan, udang dan rajungan yang menjadi primadona dari nelayan Waruduwur, sekarang menjadi susah untuk ditemukan.
Menurut Darma, ada beberapa penyebab kenapa hasil tangkapan nelayan, khususnya rajungan menjadi sulit ditemukan, salah satunya adalah penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, serta diduga karena beroperasinya PLTU yang membuat populasi rajungan dan ikan menyusut drastis. "Keadaannya banyak yang pakai garok dan arad buat nyari rajungan, PLTU juga ganggu sih, suaranya keras, debunya dan asapnya banyak buat mata perih, limbahnya buat air laut panas, sekarang juga saya lagi sakit sesak, " tutur Darma.
Hal ini menyebabkan Darma dan nelayan Waruduwur lain, rela untuk melaut dengan jarak yang cukup jauh dari daratan. Hanya dengan bermodalkan alat navigasi yang memberikan informasi mirip GPS, Darma dan nelayan lain akan pergi mencari rajungan sampai ke luar pulau Jawa.
"Kemarin saja nyari sampai ke Lampung, bahkan ada yang sampai Sumatra, pakainya alat yang mirip GPS. Gunanya bukan buat petunjuk jalan saja, tapi juga buat cek arus, tandai tempat lokasi yang banyak ikan, sama buat mencegah tabrakan juga sama kapal lain," tutur Darma.
Meski sudah melaut dengan jarak yang cukup jauh, namun, pendapatan yang dihasilkan Darma dari melaut tetap saja tidak banyak. "Sekarang kadang dapatnya cuman satu kilo kalau dijual paling dapatnya Rp 180.000, belum menghitung sama solar, rokok, kopi, upah ngupas dan keperluan melaut lain, paling dapatnya yah Rp 30.000, dibilang lebih yah kurang, namanya nelayan dijalanin saja lah. Padahal pas dulu dapatnya bisa kuintalan," tutur Darma.
Selain penghasilan yang menurun, masalah lain yang dihadapi nelayan Waruduwur adalah utang. Menurutnya, banyak nelayan di Desa Waruduwur terjebak utang kepada bos atau tengkulak. Darma mengatakan, utang tersebut biasanya berasal dari pembelian perahu untuk modal mencari ikan.
"Kapal di sini, punya kita semua, tapi kita utang ke bos buat beli kapal ini. Kalau bisa nyicil yah nyicil, tapi kalau nggak bisa nyicil sampai mati, yah kita matinya bawa utang, kalau nggak bisa bayar-bayar, utang sampai mati juga tetap saja utang, " tutur Darma.
Sebagai nelayan yang juga terjebak utang, Darma memaparkan bagaimana sistem utang sangat merugikan nelayan kecil seperti dirinya. Menurut Darma, mulanya, bos atau tengkulak akan memberikan ia pinjaman uang seharga kapal yang akan dibeli untuk modal melaut. Misal harga kapal Rp 200.000.000, maka uang tersebut akan diberikan oleh tengkulak kepada nelayan.
Selain harus membayar utang sampai lunas, setiap hasil tangkapan laut yang dihasilkan dari kapal tersebut, harus dijual kepada pemberi utang alias tengkulak dengan harga yang murah.
"Bosnya kadang ngambil untungnya jahat, misal saya dapat 1 kilo rajungan dari hasil melaut sehari, kalau dijual di luar kan 1 kilo dapat Rp 230.000 lebih, tapi kalau dijual ke bos itu jadinya Rp 160.000, jadi bosnya ngambil Rp 50.000, dan Rp 50.000 tuh bukan buat bayar utang, tapi ngambil keuntungan dia, bayangkan misal dikali satu tahun," tutur Darma.
Darma mengatakan, dengan sistem utang seperti ini nelayan seperti kecil seperti dia, akan sangat sulit untuk menjadi sejahtera dari hasil melaut. Bahkan, jika sudah tidak mampu lagi melaut, kapal yang tadinya dibeli dari hasil utang ke tengkulak akan diambil lagi, seperti yang dialami oleh Darma. Di mana, kapal ia diambil oleh bosnya yang juga seorang tengkulak. Penyebabnya, karena pendapatan yang menurun, ditambah ABK kapal yang sudah tidak ada. Meski kapal sudah diambil, untuk utangnya sendiri masih tetap berjalan.
"Saya sudah nggak punya kapal, kapalnya sudah diambil, karena sudah nggak ada ABK-nya. Meski kapalnya sudah diambil, yah kita tetap punya utang ratusan juta. Kayak kita punya utang Rp 150.000.000 buat beli kapal, kita usaha bertahun-tahun, sambil untungnya diambil bos, terus kita nyerah nih jadi nelayan, karena nggak ada ABK, perahu diambil sama bos, terus dihargai Rp 50.000.000, berarti kita masih punya utang Rp 100.000.000, dan nggak tahu mau bayar pakai apa, jadi kejerat utang," tutur Darma.
Darma sendiri menyadari risiko dari mengambil utang di tengkulak, namun ia tidak punya pilihan lain. Hingga hari ini, Darma masih memiliki utang sekitar Rp 90.000.000. Di usianya yang sudah senja, Darma sendiri tidak tahu bisa membayar sisa utangnya atau tidak. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Darma masih tetap menjadi nelayan, dengan ikut melaut bersama temannya, yang kapalnya masih belum diambil oleh tengkulak.
"Ini saya masih di laut tapi ikut kapal dia ni, anaknya 5 yang sudah berumah tangga baru 2, sisanya masih sekolah semua, jadi masih ada tanggungan, penginnya sih istirahat kan sudah tua, di laut nggak enak, kehujanan, tapi mau gimana lagi masih punya tanggungan, sama masih punya utang," pungkas Darma.
(sud/sud)