Somad (55), seorang mantan nelayan yang telah meninggalkan kehidupannya di laut sejak 25 tahun lalu. Kini, ia memilih bekerja sebagai pengepul limbah cangkang rajungan di dekat dermaga nelayan Desa Waruduwur, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Menurut Somad, profesi ini lebih menjanjikan dibandingkan menjadi nelayan yang penuh risiko dan ketidakpastian.
"Saya jadi nelayan sudah lama semenjak tahun 1988 sampai tahun 2000. Kalau jadi nelayan itu capek, nggak enak, kena ombak badai sering, pas itu nelayan pakainya layar bukan mesin, apalagi sekarang malah nelayan pada susah, hampir pada nggak mampu, nggak kayak dulu," tutur Somad kepada detikJabar belum lama ini.
Baca juga: Untaian Mimpi Ilham Guru Honorer Indramayu |
Desa Waruduwur sendiri dikenal sebagai pusat penghasil rajungan di Cirebon. Banyak pembeli dari luar daerah yang datang khusus untuk mendapatkan rajungan. Somad mengatakan sebagian besar nelayan di Waruduwur berfokus pada rajungan, sehingga desa ini sempat dijuluki "Kota Rajungan". Hal itu pula menjadi alasan lain yang membuat Somad 'pensiun' sebagai nelayan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Somad bercerita, sampai tahun 2017, rajungan masih sangat mudah ditemukan di perairan Cirebon, bahkan saking banyaknya, Somad bisa mengumpulkan berton-ton limbah cangkang rajungan yang dikumpulkan dari tempat pengupasan rajungan. Oleh Somad, cangkang rajungan akan dihancurkan dan dikeringkan untuk dikirim ke berbagai pabrik atau perusahaan yang membutuhkan bahan baku cangkang rajungan.
"Nanti kulit rajungan itu digiling, lalu dibikin konsentrat, buat campuran pakan ternak, ada juga yang dibuat bubuk organik, sampai buat kosmetik. Dulu saya tuh bisa kirim sampai satu gandeng itu sekitar 20-35 ton, itu sekali kirim ke Surabaya, Tangerang, dan Bali. Cangkang rajungan itu juga kadang diekspor sama PT-nya keluar negeri. Untuk cangkang kulit rajungan itu dapat dari tempat pengupasan, kan di sana jadi limbah, terus saya beli, " tutur Somad.
Saat itu, dalam satu bulan, Somad bisa mendapatkan omzet mencapai belasan juta rupiah. Bahkan, dari hasil menjadi pengepul cangkang rajungan juga, Somad juga bisa menyekolahkan kedua anaknya sampai perguruan tinggi.
"Alhamdulillah sebulan itu bisa sampai dapat Rp 10 juta sampai Rp 15 juta. Anaknya 2, sudah lulus kuliah semua, itu dari hasil kerja keras, alhamdulillah sekarang anaknya sudah pada kerja. Mungkin kalau dulu rajin nabung juga, sekarang sudah haji," tutur Somad.
Namun, itu dulu, sekarang, pendapatan Somad dari berjualan cangkang rajungan sedang menurun drastis. Penyebabnya, karena rajungan semakin sulit untuk ditemukan oleh para nelayan di Desa Waruduwur.
"Rajungannya sudah jarang, gara-gara jaring Garok dan Arad yang tidak ramah lingkungan karena merusak terumbu karang, padahal sudah dilarang, tapi tetap saja ada yang pakai, sama karena limbah PLTU juga yang dibuang di laut, airnya jadi panas, ikan, rajungan yang masih kecil pada mati," tutur Somad.
Selain rajungan yang sulit ditemukan, untuk menjual cangkang rajungan juga sudah mulai susah. Jika pun ada yang berminat, akan ditawar dengan harga yang sangat murah, yakni Rp 1.000 rupiah untuk 1 kilo kulit rajungan, padahal dulu untuk 1 kilo kulit rajungan, dihargai Rp 4.000. Somad sendiri tidak mengetahui secara pasti kenapa minat untuk membeli cangkang rajungan menurun.
"Saya orang kecil nggak ngerti kenapa jadi sepi, soalnya bos-bos saya yang di Jakarta, Bali, Surabaya itu juga mengeluh, kenapa nggak pada bisa ekspor, karena kalau ada ekspor mending 1 kilo jadi Rp 2.000 atau Rp 1.500," tutur Somad.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, Somad kini bekerja sebagai kuli atau tukang sopir panggilan, sambil berharap semoga permintaan cangkang kulit rajungan meningkat. "Sekarang mah jalanin saja, sambil melakukan pekerjaan lain, bertahan saja, jangan putus asa, barangkali ada kenaikan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mah, kerja apa saja, kadang ada orang yang nyuruh buat nyetir mobil atau kuli, sekarang mah pendapatan sudah nggak nentu nggak kayak dulu," pungkas Somad.
(iqk/iqk)