Awal abad ke 19, Cirebon digegerkan dengan banyaknya penduduk yang menderita penyakit malaria. Kejadian mengerikan di Cirebon ini membetot perhatian dunia.
Mengutip dari arsip Delper, terdapat banyak surat kabar Hindia Belanda yang membicarakan tentang wabah penyakit Malaria di Cirebon, seperti dalam koran De Locomotif edisi 15/09/1926. Tertulis, dalam jurnal medis karya JMH Van Dorssen menyebutkan pada tahun 1805 epidemi Malaria telah merenggut nyawa tiga perempat penduduk Cirebon.
Dilansir dari jurnal Belajar dari Sejarah Cirebon karya Tati Rohayati, dari awal kemunculan wabah malaria di tahun 1805 hingga januari 1882 tercatat 3.900 orang di Cirebon yang meninggal. Di bulan Mei tahun 1882 jumlahnya meningkat menjadi 10.919 orang yang meninggal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam koran yang sama, dokter ahli bedah yang bertugas di Cirebon, Isaach Douglas membeberkan tentang kondisi Cirebon yang kala itu sedang dilanda malaria. Ia mengatakan Kalibacin yang membelah Cirebon menjadi dua mengeluarkan bau yang busuk ke seluruh kota. Air dari sungai Kalibacin tidak dapat digunakan untuk memasak sampai sepanjang tahun.
Douglas sendiri kehilangan istri dan dua anak serta satu orang kerabatnya akibat penyakit tersebut. Bahkan pada tahun 1806 Douglas mengajukan petisi pada pemerintah untuk mengundurkan diri dengan alasan ia mendapatkan dirinya dalam keadaan lemah dan tidak berdaya.
Wabah juga menyebabkan banyak keluarga sultan dari Kasepuhan yang meninggal, dalam koran disebutkan Sultan Kasepuhan, kehilangan delapan dari sembilan anak, sedangkan Sultan Kanoman sendiri menjadi korban dari wabah tersebut. Kondisi mencekam ini dilaporkan surat kabar De Locomotied edisi 15 September 1926.
"De heer van Dorssen vermeldt verder nog dat de sultan Kasepochan acht kinderen van de negen verloor, terwijl de sultan Kanoman zelf aan de epidemie ten offer viel. Van het garnizoen waren nog slechts vier soldaten op de been, terwijl van de vier ordonnansen van den resident drie overie- dea, terwΓ΅l de vierde in een zeer beden-kelijke situatie was," tulis koran De Locomotief edisi 15/09/1926.
Beberapa tahun setelahnya, kondisi penduduk miskin Cirebon yang terkena malaria semakin mengkhawatirkan. Dikutip dalam koran Het Vaderland edisi 09/03/1915, yang ditulis koresponden di Cirebon, disebutkan, saat melihat nasib warga miskin di kampung yang terkena penyakit malaria dan demam seperti di Prujakan, Pekiringan dan Pekalipan terlihat sangat menyedihkan.
Meski pemerintah sudah mengambil tindakan, penyakit malaria dan demam masih menyebar dengan sangat mengkhawatirkan.
"Jumlah korban semakin bertambah hari ke hari, perkampungan menjadi tergenang air akibat hujan terus menerus. Seorang dokter dari Batavia mengatakan, kondisinya sangat serius," tulis koran Het Vaderland edisi (09/03/1915).
Ditemukan juga kasus malaria di Kanggraksan, Ciledug, Kapetakan, Losari serta Indramayu dan Kuningan. "Kasus Malaria juga sampai di Eretan Indramayu dengan kondisi parah. Dua kecamatan di Kuningan juga ditemukan kasus malaria. 50 persen kasus malaria ditemukan di dataran rendah, anak-anak sekolah pun terkena dampaknya," tulis De Locomotief (21/6/1928).
Dalam koran Het Vaderland di edisi 16/02/1912, melaporkan tentang situasi kesehatan di Cirebon yang sangat buruk. Disebutkan, tentang banyak penduduk yang terkena malaria dengan gejala demam selamat 10 hari disertai pembekakan kelenjar dan penyakit tenggorokan.
Koran De Avondpost 15/10/1905 menambahkan, dalam penelitian lokal menunjukkan bahwa beberapa orang yang sakit tidak mampu mendapatkan makanan yang layak. Pada tahun 1924, koran Algemeen Handelsblad edisi 22/06/1925 menyebutkan tentang angka kematian menggila akibat malaria.
"Penyelidikan medis terhadap wabah malaria yang tiba-tiba di Cheribon menunjukkan bahwa hal itu disebabkan oleh kelalaian dan polusi yang ekstensif. Angka kematian meningkat tiga kali lipat pada tahun 1924. Pengendalian yang kuat terhadap malaria telah dimulai," tulis Algemeen Handelsblad edisi (22/06/1925).
Upaya Melawan Malaria
Melihat kondisi yang semakin parah, pemerintah Hindia Belanda mulai mengatasi persoalan malaria. Dikutip dari De Sumatra post edisi 22/06/1925, menyebutkan, Dewan Kota mengizinkan anggaran 5.000 gulden untuk memerangi malaria. Pengeringan kolam ikan dimulai. Wali kota meminta kerja sama dinas kesehatan untuk mendapatkan subsidi pemerintah yang dijanjikan sebesar 15.000 gulden.
Beberapa tahun sebelumnya, koran De Locomotif edisi 5/5/1917, menuliskan bahwa pemerintah telah memberi izin untuk melaksanakan pekerjaan pembuangan limbah di Ibu Kota Cirebon, sesuai dengan rancangan dokumen yang diajukan dewan kota. Biayanya diperkirakan membutuhkan biaya mencapai 455.000 gulden.
"Dr Scholl yang bertugas untuk mengatasi wabah malaria, sangat bersemangat dalam bekerja. Pengendalian wabah malaria berfokus di desa yang berbatasan dengan kecamatan Kapetakan. Sementara itu, Dr Swellengrebel ahli zoology. Akan berada di wilayah tersebut selama beberapa waktu untuk mempelajari nyamuk dan memeriksa limpa penderita malaria," tulis koran De Locomotif edisi (5/5/1917).
"Malaria-bestrijding. In de desa's op de grens van het onderdistrict Kapetakan woedt onder de bewoners de malaria op hevige wijze. Dr. Scholl is met de bestrijding daar- n van belast, die energiek wordt aangevat, terwijl dr. Swellengrebel, zoΓΆloog, zich eenigen tijd in die streek zal ophouden om de muskieten te bestudeeren en voor het onderzoeken van de milt der malarialijders," tulis koran De Locomotif edisi (5/5/1917).
Putra Lingga Pamungkas, pegiat sejarah dari komunitas Cirebon History, menuturkan di sekitar tahun 1900 an. Cirebon memang dikenal sebagai kota yang jorok, kotor dan sungai yang dipenuhi sampah, hal ini menyebabkan penduduk Cirebon mudah terserang penyakit.
"Sehingga dampaknya timbul beberapa penyakit seperti malaria. Kemudian, pemerintah Hindia Belanda di Cirebon menangani serius hal ini dengan cara menutup Kalibacin yang sekarang menjadi Jalan Merdeka, mendirikan rumah sakit Gunung Jati tahun 1917," tutur Lingga belum lama ini.
Secara spesifik koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 4/03/1915, menyebutkan penyebab dari malaria adalah penggalian yang sangat ekstensif di Cirebon. Tetapi terjadi perbedaan pendapat tentang penyebab malaria. "Jika disebabkan penggalian maka epidemi malaria harusnya terjadi lebih awal," tulis Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi (4/03/1915).
Pada tahun 1914 terjadi pembangunan jembatan di atas sungai Sukalila. Saat itu tidak seorang pun yang memperhatikan tentang 1.200 kasus malaria yang telah dikabarkan.
"Insinyur Hoos ahli pembangunan jembatan Sukalila memang meninggal karena malaria, namun ia tertular akibat semangatnya dalam mengeruk sungai Sukalila sepanjang malam. Kematian Hoos inilah yang menyebabkan malaria disebabkan oleh pekerjaan penggalian. Padahal penyebab utama penyakit malaria adalah Kalibacin," tulis koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi (4/03/1915).
Dalam koran yang sama, juga disinggung tentang pengabaian pemerintah dalam menangani masalah Kalibacin.
"Pada tahun 1872 insinyur Mansvelt menunjukkan hal ini dalam proposalnya, yang masing-masing dikenang pada tahun 1876, 1889, dan 1903 oleh rekan-rekanya Misplebom Befler, Uken dan Haringhuizen serta supervisor Dijkstra. Bukankah para insinyur tersebut sudah mengetahui bahwa Kalibacin dulu dan sekarang masih menjadi penyebab terjadinya penyakit malaria?," tulis koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi (4/03/1915).
Sikap tidak peduli pemerintah terhadap wabah malaria juga tertulis dalam koran De Preanger Bode edisi 7/5/1917, dipaparkan, sebenarnya penelitian tentang malaria telah dilakukan di awal modernisasi.
"J.J. van Lonkhuizen memprotes wali kota Cirebon, R.A.A Schotman. Dia tidak memperhatikan lingkungan kota sehingga banyak pekerja di kota meninggal karena malaria. Wali kota itu tidak melihat kebutuhan para pekerja tapi lebih melihat kebutuhannya sendiri," tulis koran De Preanger Bode edisi (7/5/1917).
Menurut Lingga, nama Kalibacin sendiri berasal dari kata Bacin yang dalam bahasa Indonesia berarti bau busuk. Pada masa pemerintahan wali kota Cirebon pertama, Kalibacin mulai ditimbun. "Kemudian sungai tersebut diurug oleh walikota burgemeester pertama Cirebon bernama J.Johan," kata Lingga.
Lingga mengatakan, semangat pemerintah Cirebon untuk lepas dari wabah dan hal buruk lain, didasari oleh semboyan Per Aspera Ad Astra yang berarti dari jerih payah menuju bintang. "Kemudian setelahnya berhasil menangani itu sekitar periode 1920-an, yang memunculkan semboyan kotapraja Cirebon, Per Aspera Ad Astra artinya dari jerih payah menuju bintang, dari kerja keras menuju kesuksesan," pungkas Lingga.
Dalam jurnal berjudul Modernisasi Kota dan Bencana Wabah Malaria di Cirebon tahun 1930 an karya Imas Emalia, menyebutkan tahun 1933 ada sekitar 1.618 pasien malaria yang berkunjung ke Rumah Sakit Oranje Cirebon. Oleh Pemerintah, pasien dan keluarga pengidap malaria diberikan pil kina. Penyalurannya, dibantu oleh tenaga kesehatan dan dokter.
Pemerintah juga berupaya untuk menambah jumlah dokter dan mantri, serta meningkatkan penanganan banjir dengan perbaikan sungai dan jalan raya. Dipasang juga banyak pompa air riol di beberapa sungai di Kota Cirebon.
Meski sampah hasil limbah pembangunan masih berserakan, pada pertengahan abad ke 20 terjadi penurunan korban akibat wabah malaria. Hal ini tidak terlepas dari upaya penyemprotan, pembagian pil kina dan propaganda kebersihan yang melibatkan dokter dan pemerintah.
(sud/sud)