Pangeran Cakrabuana dan Jejak Pembangunan Masjid Pejlagrahan Cirebon

Pangeran Cakrabuana dan Jejak Pembangunan Masjid Pejlagrahan Cirebon

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Selasa, 23 Apr 2024 06:30 WIB
Masjid Pejlagrahan di Cirebon
Masjid Pejlagrahan di Cirebon. (Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar)
Cirebon -

Sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat, Cirebon memiliki beberapa masjid tertua, seperti Masjid Pejlagrahan. Dilansir dari skripsi berjudul "Sejarah dan Makna Arsitektur Masjid Pejlagrahan Kelurahan Kasepuhan Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon Abad ke XV M" karya Rochmatun Nisa, nama Pejlagrahan memiliki arti rumah air, berasal dari kata jala yang berarti air, dan graha yang berarti rumah.

Ratu Yani Martawijaya (57), juru pelihara Masjid Pejlagrahan, mengungkapkan dulunya Masjid Pejlagrahan dibangun di dekat pesisir pantai. Namun, karena adanya pendangkalan, kini Masjid Pejlagrahan sudah tidak berada di dekat laut lagi. "Dulu pas awal dibangun area sekitar sini itu pesisir, sekarang sudah tidak lagi," ungkap Yani, belum lama ini.

Yani menjelaskan Masjid Pejlagrahan adalah masjid tertua di Cirebon, dibangun sebelum Masjid Merah Panjunan dan Masjid Sang Cipta Rasa. Masjid Pejlagrahan didirikan oleh Pangeran Cakrabuana pada tahun 1431 M. "Namanya Mbah Kuwu Cirebon, merupakan mbah kuwu kedua. Kalau kuwu pertama kan Ki Gedeng Alang-Alang yang makamnya di belakang Masjid Agung, kalau Pangeran Cakrabuana makamnya di Gunung Sembung," tutur Yani.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pangeran Cakrabuana, memiliki nama lain Raden Walangsungsang, adalah anak dari Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran. Menurut Yani, Pangeran Cakrabuana sengaja membangun Masjid Pejlagrahan di pesisir untuk para nelayan. Pada masa itu, banyak nelayan yang datang untuk beribadah dan belajar agama Islam kepada Pangeran Cakrabuana.

Selain digunakan untuk para nelayan, dilansir dalam skripsi yang sama, Masjid Pejlagrahan juga digunakan sebagai tempat musyawarah dalam menyebarkan agama Islam di Cirebon serta digunakan para pejabat keraton dan tokoh penting untuk membangun masjid yang lebih besar yakni Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

ADVERTISEMENT

Dahulu, ruang utama masjid tidak dibuka untuk umum, karena khusus digunakan para wali dan orang yang ingin fokus beribadah. Meski mampu untuk menampung jemaah sampai 40 orang, Masjid Pejlagrahan tidak digunakan sebagai tempat salat Jumat. "Tidak dipakai buat salat Jumat, meski muat 40 orang, soalnya sudah ada Masjid Agung, kalau di sini buat tarawih, salat id," kata Yani.

Masjid Pejlagrahan di CirebonMasjid Pejlagrahan di Cirebon Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar

Yani sendiri tinggal tepat di depan Masjid Pejlagrahan dan sejak kecil sering datang ke masjid. Dia mengatakan bahwa sebelum direnovasi, Masjid Pejlagrahan sangat kecil, lantainya belum dikeramik, terbuat dari bata merah, dan atapnya masih menggunakan daun. "Untuk keasliannya, paling hanya tersisa beberapa persen saja," tambah Yani.

Meskipun begitu, menurut Yani, masih ada beberapa peninggalan seperti mimbar, jembangan atau kolam air, sumur keramat, pintu kecil, saka, keramik Cina, dan momolo. "Momolo bentuknya kaya mahkota, alhamdulillah ada bantuan dari pengunjung, sekarang sudah dilindungi dengan kaca mika. Sumurnya sendiri memang keramat, tidak pernah kering," ungkap Yani.

Karena letaknya tidak jauh dari Dalem Agung Pakungwati di keraton Kasepuhan, Yani mengatakan bahwa dulunya terdapat pintu masuk yang menghubungkan keraton dengan Masjid Pejlagrahan. Namun, seiring bertambahnya jumlah penduduk di sekitar masjid, jalan yang menghubungkan keraton dengan masjid ditutup. "Di belakang masjid ini kan Keraton Kasepuhan, dulu ada pintu, mungkin ditutup pada zaman Belanda," jelas Yani.

Yani mengungkapkan bahwa ketika masjid ini direnovasi pada tahun 1994, terjadi perdebatan antara kakaknya, R. Subagja Martawijaya. "Kakaknya ibu, sempat berdebat sama lembaga kepurbakalaan. Dahulukan nggak ada undang-undang cagar budaya, baru berlaku 2010. Debatnya buat membahas agar nggak dipugar secara keseluruhan," tutur Yani.

Setelah direnovasi, beberapa bangunan ditambahkan seperti serambi depan, tempat salat wanita, tempat wudu, kamar mandi, dan teras depan. Selain itu, juga ada pintu dengan ukiran kayu yang disebut pintu gebyong, menggantikan pintu lama yang sudah lapuk. Yani menyebutkan bahwa masih ada beberapa tradisi yang sering dilakukan di Masjid Pejlagrahan, seperti tawasulan di malam Jumat Kliwon, pengajian, dan tadarusan.

Selama menjadi juru pelihara, Yani mengatakan bahwa Masjid Pejlagrahan sering didatangi oleh banyak orang dari berbagai daerah. "Banyak yang datang ke sini, dari Jakarta hampir setiap minggu, dari Lampung sampai Australia. Orang dari Lampung katanya datang ke masjid ini karena mendapat mimpi, sementara yang dari Australia datang untuk mempelajari sejarahnya," tambah Yani.

Masjid Pejlagrahan terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Karena letaknya di tengah pemukiman penduduk, pengunjung harus masuk melalui gang kecil terlebih dahulu agar bisa sampai di Masjid Pejlagrahan.

(iqk/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads