Melihat Kumuhnya Cirebon di Masa Hindia-Belanda

Lorong Waktu

Melihat Kumuhnya Cirebon di Masa Hindia-Belanda

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Sabtu, 20 Apr 2024 10:00 WIB
Cirebon masa Hindia-Belanda
Cirebon di masa Hindia-Belanda (Foto: Istimewa/arsip)
Cirebon -

Cirebon merupakan daerah yang memiliki sejarah yang panjang. Menurut pegiat sejarah dari komunitas Cirebon History, Putra Lingga Pamungkas, Cirebon sudah ada sejak abad ke 15. Nama Cirebon sendiri berasal dari mata pencaharian Pangeran Cakrabuana yang mencari udang kecil atau rebon di laut.

"Dari Pangeran Cakrabuana tercetuslah nama Caruban Nagari sebagai kota penghasil udang, sampai zaman Belanda hingga sekarang masih pakainya lambang udang," tutur Lingga beberapa waktu lalu.

Dilansir dari jurnal Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon 1681 - 1755 M, karya Firlianna Tiya Deviani. Disebutkan, berdirinya kerajaan Cirebon tidak lepas dari sosok Pangeran Cakrabuana, anak dari Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran. Setelah datangnya Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Pangeran Cakrabuana menyerahkan kerajaan Cirebon pada kemenakan sekaligus menantunya, yakni Sunan Gunung Jati pada tahun 1479 masehi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada masa Sunan Gunung Jati, kerajaan Cirebon mengalami kemajuan yang sangat pesat. Namun, setelah Sunan Gunung Jati wafat tahun 1568. Di abad 17 ketika Vereenigde Oostindische Compagniecode (VOC), mulai datang ke Cirebon, kehidupan di Cirebon menjadi berubah.

Lewat politik adu domba, VOC berhasil memperlemah kerajaan Cirebon yang sedang dilanda konflik internal. Dilansir dalam jurnal yang sama, pada 7 Januari 1681 terjadi perjanjian antara 3 pangeran di Cirebon, yakni Pangeran Martawijaya, Pangeran Kartawijaya dan Pangeran Wangsakerta dengan VOC. Perjanjian dengan VOC tersebut menyebabkan Cirebon mengalami banyak kerugian dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.

ADVERTISEMENT
Cirebon masa Hindia-BelandaCirebon masa Hindia-Belanda Foto: Istimewa/arsip

Beberapa tahun setelahnya, Cirebon mengalami banyak kemunduran. Pada abad ke 19, Cirebon sudah dikenal sebagai wilayah yang kumuh dan tidak layak huni. Keadaan Cirebon yang kumuh sangat tergambar jelas dalam banyak media, salah satunya surat kabar Hindia Belanda. Dalam laporan kontributor yang berjudul Tjirbonniana dari koran Nederlands Indie edisi (12/09/1925), dibeberkan secara jelas bagaimana kumuhnya Cirebon pada abad ke 19.

Tertulis, sebagai mantan warga Cirebon, dahulu ada penyakit kolera di sini. Pada saat itu Cirebon belum memiliki persediaan air minum yang cukup. Di kota, saat air surut, banyak tumpukan lumpur yang terpapar uap beracun yang dipengaruhi oleh matahari tropis.

Apalagi penduduk Cirebon sebagian besar tinggal di daerah pantai, tanpa mengetahui daerah pegunungan yang sehat dimana mereka dapat pulih dari iklim pantai yang membahayakan. Bahkan pada masa itu, kondisinya demikian buruk, sehingga orang tidak dapat mudah bergerak jika menggunakan kendaraan seperti mobil dan lain-lain. Tulis koran Nederlands Indie.

Di distrik Cangkol dan sekitarnya, banyak penduduk yang tinggal di daerah kumuh yang pengap dengan kondisi tidak ada cahaya dan udara segar yang bisa masuk. Sepanjang tahun, tanah disana selalu basah, yang disebabkan oleh sistem drainase yang buruk. Di musim hujan sebagian wilayah terendam oleh air. Kalibacin yang terkenal, awalnya akan digunakan untuk memasok air di kota yang padat penduduk, tetapi malah lama-kelaman tertimbun lumpur. Di dalamnya tidak terdeteksi arus air sedikitpun.

Dalam artikel tersebut juga dijelaskan tentang kondisi penduduk Cirebon di pusat kota. Tertulis, penduduk asli tinggal dengan padat di distrik pusat kota yang seringkali berawa yang kumuh dan pengap, dimana tidak cukup ada udara dan cahaya yang masuk. Kabar tentang penduduk yang sakit malaria juga terjadi di berbagai kampung dan kota. Berita tentang banyaknya orang sakit, menjadi gambaran tentang kondisi Cirebon yang sangat tidak sehat.

"Wel heeft, volgens oud-Tjirebonners hier vroe-bij ger cholera geheerscht maar dat was in den tijd, toen Tjirebon nog geen drink waterleiding had en er niet aan gedacht werd het water voor het gebruik als drinkwater to koken toen voor de stad bij eb modderbanken bloot lagen waaruit onder den invloed van 't tropisch zon- netje verpestende dampen opstegen en de menschen meerendeels hun verblijf hadden aan de strandstreken, zonder de Of gezonde bergstreken te kennen, waar aij op verhaal konden komen van het afmattend klimaat aan de kust," tulis koran Nederlannsds Indiebedisi (12/09/1925).

Koran Belanda yang membahas CirebonKoran Belanda yang membahas Cirebon Foto: Istimewa/arsip

Selain penyakit kolera dan malaria, setiap tahun, di Cirebon banyak penduduk yang terserang sakit demam. Biasanya terjadi saat cuaca sedang buruk. Warga lokal mengaitkan sakit demam dengan angin kumbang yang berhembus dari arah pegunungan menuju lereng dengan kecepatan yang tinggi, biasanya terjadi saat musim kemarau di bulan Juli sampai akhir September.

Tertulis, nama angin kumbang diambil dari nama salah satu bukit yang ada di gunung Ciremai. Di Jawa Timur angin kumbang sering disebut dengan angin gending. Baik angin kumbang maupun angin gending dapat menimbulkan berbagai macam masalah kesehatan seperti bibir pecah-pecah, demam, flu batuk dan sesak nafas.

Dalam koran tersebut juga, dijelaskan tentang beberapa perbedaan perilaku dan pola pikir orang pribumi dan non-pribumi. Orang Arab dan Tionghoa disebutkan, meski tinggal di pusat kota, mereka selalu menjaga kebersihan. Untuk memenuhi kebutuhan air minum, orang Eropa, Cina kaya, dan kepala suku pribumi memiliki martavan atau wadah dari batu bata yang digunakan untuk menampung air hujan.

Namun, penduduk pribumi tidak bisa melakukan hal tersebut. Mereka biasanya meminta air kepada teman atau kenalan dan mandi di sumur yang airnya dapat diminum. Karena letaknya dekat dengan laut, sebagian air sumur berisi air payau yang hanya cocok digunakan untuk mencuci, mandi dan memasak. Banyak juga penduduk pribumi yang sulit diajak kerja sama saat mengatasi wabah. Dalam pandangan mereka nasiblah yang menimpa mereka sehingga ia harus pasrah.

Dengan kondisi Cirebon yang kumuh, agar bisa bertahan, para penduduk hanya disarankan untuk beradaptasi dengan keadaan, menjaga diri, tidur tepat waktu, menjalani kehidupan teratur dan tidak muntah-muntah di malam hari. Terutama saat angin kumbang bertiup.

"Gelijkertijd worden z.v.m. opgeruimd de bedompte woonkrotten zoomede de verkoopplaatsen in de stadsgedeelten van gedroogde visch en andere kwalijk rieken- de, vliegen lokkende waren. Zij worden vervangen door andere op gunstiger ge- legen gedeelten in of nabij de stadswijk opgetrokken gelegenheden. Daarbij wordt de toediening van kinine krachtig ter hand genomen," tulis koran Nederlannsds Indie edisi (12/09/1925).

Dipaparkan pula, tentang upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengatasi pemukiman Cirebon yang kumuh seperti membangun pipa air dan pembersihan di beberapa wilayah. Gubuk-gubuk pemukiman dan tempat penjualan ikan yang pengap dan berbau tidak sedap dibersihkan secepat mungkin.

Fasilitas-fasilitas tersebut akan digantikan oleh fasilitas lain yang dibangun di tempat yang lebih strategis. Jalur lalu lintas juga secara bertahap akan diaspal dan diperbaiki. Menurut Lingga, Cirebon memang pernah menjadi kota kumuh yang memiliki sistem drainase yang buruk. Bahkan saking kumuhnya, pusat kota Cirebon yang tadinya dekat dengan pesisir, berpindah ke daerah yang cukup jauh dari laut.

Cirebon masa Hindia-BelandaCirebon masa Hindia-Belanda Foto: Istimewa/arsip

Ada banyak faktor yang menyebabkan Cirebon jadi wilayah kumuh seperti letak geografis Cirebon yang dekat dengan perairan, pembangunan pabrik dan gedung oleh kolonial yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan, serta belum adanya sistem pembuangan limbah dan drainase yang baik.

Untuk mengatasi persoalan kumuhnya Cirebon. Pemerintah Hindia Belanda membangun Gemeente Cirebon pada 1 April 1906. Menurut Lingga, pembangunan Gemeente Cirebon bertujuan untuk memudahkan sistem administrasi dan pengelolaan kota di Cirebon. Lewat semangat Per Aspera ad Astra, yang berarti dari jerih payah menuju bintang. Pemerintah Gemeente Cirebon mencoba bangkit dari keterpurukan.

"Ketika itu, Cirebon sedang masa sulit, banyak yang terjadi dari mulai kebanjiran, penyakit menular dan sungai kotor. Kemudian 1906 Gammente Cirebon dengan tekad kuatnya, membangun Cirebon sebagai kota yang maju," tutur Lingga.

Dalam jurnal yang berjudul Dari Per Aspera Ad Astra ke Cirebon Baru karya Dhanang Respati Puguh, pada tahun 1925 upaya Gemeente Cirebon mulai membuahkan hasil, banjir mulai jarang terjadi, karena sudah dipasang pompa dan saluran air bawah tanah. Air bersih mulai tersedia, jalanan sudah banyak dibangun dan dibidang kesehatan, pemerintah membangun rumah sakit Oranje yang sekarang dikenal dengan rumah sakit umum daerah Gunung Jati.




(dir/dir)


Hide Ads