Budayawan resah dengan karakter atau identitas Kota Bandung yang memudar. Bandung kala dulu memiliki karakter yang kuat, karakter sebagai Kota Pendidikan, Kota Kembang, Paris van Java, hingga medan perjuangan bagi pejuang bangsa. Perlahan, identitas Bandung memudar.
Budayawan sekaligus musisi legendaris Acil Bimbo secara lantang menyebut identitas Bandung telah memudar. Acil menilai tak banyak yang memberikan perhatian terhadap persoalan yang membuat identitas Bandung memudar. Ia menganggap jaga lembur sangat penting diimplementasikan sebagai gerakan sosial budaya. Tujuannya, mengembalikan identitas Bandung.
"Harus ada gerakan intelektual. Bagi saya, karakter itu yang paling penting. Bandung itu kota intelektual, pendidikan, budaya, perjuangan, Paris van Java, dan lainnya. Sekarang tidak dirawat," ucap Acil Bimbo saat berbincang dengan detikJabar, Senin (26/12/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Acil mengungkapkan keresahannya. Menurutnya, Bandung tak hanya kehilangan identitas. Tetapi, aset dari berbagai bidang, seperti budaya, kesenian dan ketokohan.
"Ingin budayawan dan seniman itu dijadikan aset. Tokoh politik juga itu aset, ekonom juga dan lainnya," ucap Acil.
Acil saat ini aktif keliling desa-desa untuk menggaungkan gerakan jaga lembur. Ia merawat merawat budaya leluhur. Ia berupaya membentangi agar aset apapun dari desa, termasuk tradisi tak hilang.
Acil juga merasa tak banyak gerakan-gerakan yang menunjukkan bahwa Bandung tempat orang-orang intelektual. Ia rindu gerakan intelektual di Bandung. "Bandung itu Kota Pendidikan. Harusnya, ada gerakan (intelektual), imej bahwa orang-orang Bandung itu intelektual dianggap orang lain," ucap Acil.
Kota Pendidikan
Sementara itu, mengutip dari jurnal yang diterbitkan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung pada 2010, yang disusun Nandang Rusnandar berjudul 'Sejarah Kota Bandung dari Bergdessa (Desa Udik) Menjadi Bandung Heurin ku Tangtung (Metropolitan), menuliskan tentang Kota Bandung dari masa ke masa. Salah satunya tentang perkembangan Bandung sebagai Kota Pendidikan.
Dalam jurnal itu menyebutkan, Kepala Arsip Negara di Batavia pada 1935 Ec Godee Moisbergen mencatat bahwa pada 24 April 1820, Residen Priangan yang berkedudukan di Cianjur mengadakan inspeksi di Kota Bandung. Muncul kesepakatan untuk membangun sekolah di Bandung. Tiga tahun setelah itu, dibangun empat sekolah gubernement (negeri), yaitu Sekolah Dasar Bumi Putera di Karangpamulang, Frobelschool atau taman kanak-kanak dan sekolah dasar khusus bagi orang Eropa, dan Ambachtschool atau sekolah pertukangan.
"Dengan munculnya sekolah tersebut maka Bandung mendapat julukan Kota Pendidikan," tulis Nandang Rusnandar dalam jurnalnya seperti dikutip detikJabar.
Nandang juga menceritakan kala itu Bandung menjadi tempat impian para orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Tak hanya berhenti di situ, pada tahun 1866, di Bandung Kweekschool atau sekolah guru yang kemudian dijuluki pribumi sebagai 'Sekolah Raja'.
"Sejarah pun mencatat dalam bidang pendidikan, Bandung merupakan daerah yang paling maju dibanding dengan daerah lainnya di Nusantara ini. Hal tersebut berkat usaha dan kerja keras para onderneming perkebunan yang memajukan bidang pendidikan," tulis Nandang.
Dulu, Bandung perkasa dan jawara pendidikan di Indonesia. Nandang dalam jurnalnya menyebutkan sejak zaman Hindia Belanda pembangunan fasilitas pendidikan di Bandung tumbuh subur, seperti OSVIA dan MOSVIA, yakni sekolah para calon pegawai pamongpraja yang didirikan pada tahun 1879. Kemudian sekolah ini dikenal dengan sebutan Sakola Menak. Di samping itu ada pula sekolah lainnya seperti Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau sekolah menengah pertama.
Singkatnya, estafet peresmian sekolah tinggi di Bandung kemudian ramai. Salah satunya Institut Teknologi Bandung (ITB) yang diresmikan pada 1920. ITB adalah perguruan tinggi teknik pertama di Indonesia. Kemudian, Departemen Perekonomian Hindia Belanda, pada tahun 1934 mendirikan sekolah Textiel Inrichting Bandoeng, yang dikenal sebagai Institut Teknologi Tekstil.
Sindiran Paris van Java
Sementara itu, catatan dalam jurnal Nandang juga menceritakan awal munculnya julukan Paris van Java. Bandung memang berbeda dengan Malang yang didesain sebagai Kota Belanda di daerah tropis. Malang dibuat sebagai kota yang menyerupai Belanda. Sementara, pembangunan di Kota Bandung kala itu dinilai kurang memperhatikan sifat-sifat kedaerahannya.
Sehingga arsitek Hendrik Berlage memberikan julukan Bandoeng Parijs van Java. Julukan Bandoeng Parijs van Java muncul ketika Congres Internationaux d`architecture moderne (CIAM) yang diselenggarakan di kota Chateau de la Sarraz, Swiss pada bulan Juni 1928. Perwakilan arsitek dari Bandung pada waktu itu adalah Hendrik Berlage.
"Ia menyindir bahwa Kota Bandung dalam pembangunannya yang berkiblat kebarat-baratan dan lebih terpaut ke Kota Paris, tidak menonjolkan ciri khas tropisnya dan tidak mencerminkan kepribadian yang
mandiri," tulisan Nandang.
Berawal dari sindiran itu, Paris van Java rupanya menjadi populer. Selain itu, julukan ini juga sejalan dengan maraknya aktivitas perkebunan di sekitar Kota Bandung pada awal abad XX, tumbuh pul bangunan-bangunan untuk kepentingan orang perkebunan seperti hotel, kantor, pertokoan dan tempat hiburan, termasuk sekolah. Termasuk, pusat perbelanjaan khusus orang kulit putih, di sepanjang Jalan Braga.
Terpisah, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bandung Ema Sumarna menilai keresahan budayawan tentang memudarnya identitas Bandung harus disikapi serius. Ema mengatakan pemerintah dan masyarakat harus bergandengan untuk mengembalikan karakter Bandung.
"Ya, yang saya tangkap dari ungkapan Kang Acil ini adalah membangun karakter. Upaya untuk mengembalikan karakter ini jangan sampai ilang, sekarang harus adaptasi dan lebih visioner," ucap Ema.
Ema mengaku bakal membangun komitmen dengan berbagai pihak untuk mengembalikan karakter Bandung. "Karakter harus dijaga. Komitmen dan kolaborasi harus dilakukan, pemerintah harus melebur dengan masyarakat," ucap Ema.
(sud/dir)