Saat itu, bukan cuma keributan yang terjadi, warga pun dibuat takut dengan suara letupan senjata. Pintu rumah warga didobrak paksa oleh aparat kepolisian bahkan beberapa anak dikabarkan menjadi korban.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santosa menilai, tindakan polisi yang merangsek masuk ke dalam rumah sudah menyalahi kode etik. Menurutnya, tindakan itu sudah tak sejalan dengan tujuan mengurai massa dalam aksi demonstrasi.
"Itu berlebihan, itu pelanggaran kode etik. Apa gunanya mendobrak rumah warga? Satu, itu wilayah privat, wilayah privat tidak boleh dimasuki tanpa persetujuan dari pemilik. Misalnya ada pendemo itu bersembunyi di sana ya sudah biarkan saja," kata Sugeng kepada detikJabar saat ditemui di Kota Sukabumi, Rabu (16/8/2023).
Dia mengatakan, tindakan polisi masuk rumah warga secara paksa seolah-olah sedang melakukan penegakan hukum pidana. Padahal, aksi warga Dago Elos yang memblokade jalan merupakan aksi kekecewaan mereka terhadap pelayanan Polrestabes Bandung.
"Kalau blokade jalan dan sudah bisa dibuka ya sudah selesai. Nggak boleh dicari-cari, kalau ada dugaan pelanggaran pidana boleh ditangkap tapi kalau awalnya orang itu blokade dan sudah dibuka ya sudah nggak usah. Jadi berlebihan menurut saya," ujarnya.
IPW menilai, ada SOP yang dilanggar oleh aparat kepolisian. Tak hanya itu, polisi juga dianggap telah melanggar hukum berupa pengrusakan. Sugeng mengatakan, tak hanya anggota polisi yang mendobrak rumah warga, pimpinan Polrestabes Bandung pun harus diperiksa.
"Ada (pelanggaran kode etik) tidak mentaati SOP, kemudian dia melanggar hukum merusak properti orang. Justru pemimpinnya yang diperiksa juga karena dia tidak mampu mengendalikan anggotanya," tegasnya.
"Polisi itu tidak boleh emosi, tugasnya harus terukur, apa tugasnya? Mengurai massa agar jalan umum bisa digunakan bukan sedang melakukan penindakan hukum. Menjaga ketertiban umum, makanya kalau terjadi itu, menurut saya terjadi pelanggaran etik, mendobrak itu emosional nggak ada gunanya," tambah Sugeng.
Terkait penggunaan gas mata, Sugeng menjelaskan, ada mekanisme untuk mengatasi unjuk rasa yang harus ditaati institusi Polri mulai dari bewara pembubaran massa hingga tindakan persuasif. "Tahapan-tahapan kalau sudah jam 18:00 WIB maka polisi bisa membubarkan dengan menyatakan atas nama UU waktu menyatakan pendapat sudah selesai, saudara-saudara harus membubarkan diri. Itu harus disampaikan tiga kali," katanya.
Kemudian apabila warga tidak kunjung membubarkan diri, maka polisi dapat menggunakan pasukan dengan kekuatan tangan kosong. Penggunaan gas air mata, kata dia, bisa dilakukan apabila ada kerumunan massa yang besar dan ada potensi mengganggu ketertiba umum.
"Jadi dia boleh menggunakan gas air mata untuk mengurai massa, setelah itu dilakukan pendorongan. Tidak boleh ada kekerasan. Apabila tidak ada serangan dari masyarakat atau demonstran, kalau pun ada serangan polisi sudah dilatih untuk melakukan persuasif upaya menyadarkan," ucap Sugeng.
Sensitifitas polisi juga dibutuhkan saat tindakan dugaan represif itu terjadi. Dia mengatakan, polisi harus menunjukkan sikap empati dan meminta maaf atas adanya tindakan esksesif. Dikutip dari Amnesty Internasional Indonesia, eksesif adalah tindakan terhadap pendemo damai dengan cara membubarkan paksa, menangkap dan memukul.
"Sensitifitas pimpinan polisi wilayah itu penting, begitu tahu dia harus datang, menunjukkan empati, merawat korban, meminta maaf atas terjadinya ekses, bukan pelanggaran loh, ini ekses. Jadi kita juga harus fair menilai, jangan tiba-tiba 'oh polisi salah' kalau mendobrak salah, karena tidak ada yang namanya kegentingan memaksa harus mendobrak, biasanya itu lepas kontrol," tutupnya.
Sekedar informasi, Senin (14/8) malam menjadi malam mencekam bagi warga kawasan Dago Elos. Saat itu, terjadi gesekan antara warga Dago Elos dengan polisi. Hal itu terjadi setelah warga memblokade Jalan Dago dan membakar ban sebagai aksi protes mereka.
Namun warga tak pernah mengira jika polisi merangsek masuk ke dalam rumah. Padahal ketika itu, warga di dalam rumah tidak ikut dalam aksi blokade jalan.
"Malam semua keluarga lagi kumpul di sini. Karena adik saya rumah belakang pada kumpul di sini karena chaos tadi malam. Tiba tiba polisi datang dengan kata-kata umpatan. Dia lewat, saya pantau dari CCTV lewat juga," kata Handika salah seorang warga RT 2 RW 2 Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Selasa (15/8/2023).
Peristiwa itu membuat anak Handika yang berusia 6 tahun trauma. Dia mengungkapkan sang anak sempat terkena pintu saat polisi mendobrak pintu dan mengakibatkan luka di dahi sang anak.
Kapolrestabes Bandung Kombes Budi Sartono menegaskan akan menelusuri tindakan represif yang dilakukan saat memukul mundur warga Dago Elos. Saat menyampaikan keterangan, Budi mengatakan senjata gas air mata dilontarkan untuk membubarkan massa yang memblokir Jl Ir. H. Juanda atau Jl Dago karena mulai bertindak anarkis.
Selain itu, di media sosial banyak beredar polisi mendobrak ke rumah warga saat kericuhan itu terjadi. Budi menyatakan akan terlebih dahulu menelusuri hal tersebut.
"Nanti akan kami telusuri kembali (soal pendobrakan anggota polisi ke rumah warga). Karena kami pada saat itu fokus ke pembukaan jalan, nanti kalau ada anggota yang masuk ke rumah akan kita cek kembali," ucap Budi.
(dir/dir)