Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat (Jabar) menemukan adanya radio siaran keagamaan yang terindikasi intoleran. Lembaga penyiaran ini tersebar di enam daerah di Jabar.
Ketua Komisi KPID Jabar Adiyana Slamet mengatakan sejumlah lembaga penyiaran, khususnya radio itu terindikasi melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Selain itu, KPID juga berpegang pada UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Di mana dalam UU itu menyebutkan frekuensi yang digunakan lembaga penyiaran merupakan milik publik.
"Karena frekuensi ini milik publik, jadi tidak melihat suku, agama, ras dan antargolongan atau SARA. Karena diatur UU 32 tahun 2002," kata Adiyana kepada detikJabar usai FGD di kantornya, Kamis (14/7/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adiyana mengaku sebelumnya KPID telah menggelar riset dan MoU dengan MUI. Kemudian, KPID memantau beberapa lembaga penyiaraan.
"Setelah kita kumpulkan data. Pemantauan dan monitoring. Ada beberapa lembaga yang melanggar regulasi terkait keagamaan di P3SPS," ucap Adiyana.
"Kurang lebih ada di enam kabupaten dan kota. Kemudian diindikasikan melanggar regulasi P3SPS, pasal enam, tujuh dan delapan," kata Adiyana menambahkan.
Adiyana menjelaskan lembaga penyiaran yang terindikasi melanggar regulasi mengenai siaran agam itu berupa program atau konten. Beberapa di antaranya adalah mempertentangkan soal tradisi syukuran, menolak menjadikan perempuan sebagai narasumber dan lainnya.
"Jadi ada yang lembaga siaran itu tidak boleh narasumbernya perempuan. Ada juga yang mendeskriditkan agama lain," ucap Adiyana.
Adiyana mengaku ingin menyelaraskan persepsi publik. Saat ini, radio dan televisi masih digandrungi masyarakat. Artinya, tak semua bergantung pada media sosial. Adiyana menyebutkan salah satu riset membuktikan masyarakat prasejahtera atau menengah ke bawah lebih cenderung mendengar radio atau televisi.
"Orang masih banyak nonton televisi dan radio. Karena hiburan gratis. Bahwa kita tidak mau masyarakat lapisan menengah ke bawah terseret pada isu yang bisa memecah belah bangsa, khususnya Jabar," kata Adiyana.
KPID pun mengumpulkan lembaga terkait lainnya, seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), kepolisian, TNI, DPRD dan Pemprov Jabar, serta lembaga lainnya untuk menggelar FGD tentang siaran keagamaan.
Sementara itu, Kepala Bidang Agama Sosial dan Budaya Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) BNPT Jabar KH Utawijaya Kusumah mengatakan pihaknya mendukung upaya yang dilakukan KPID Jabar. Sebab, lanjut dia, KPID Jabar memiliki tugas untuk menjaga muruah penyiaran berbasis keagamaan, khususnya di Jabar.
"Karena, kelompok di luar sana banyak yang jadikan (agama) jargon untuk jualan. KPID harus menjadi marwah penyiaran yang positif," kata Utawijaya.
Utawijaya berharap setelah FGD ada langkah lanjutan, salah satunya surat edaran (SE) tentang siaran keagamaan. Sebab, SE ini akan tentang siaran keagamaan dan pelanggaran hingga sanksi yang diberikan.
"Sehingga nanti kalau ada mitra-mitra (lembaga penyiaran) KPID yang melanggar bisa ditegur. Karena sudah sepakat, baik lisan maupun lainnya," kata Utawijaya.
"SE itu nantinya menurut saya statusnya condemnatoir, produk hukum yang bersifat declaratoir, tetapi ada pasal-pasal yang tidak boleh dilanggar. Ini tentu agar SE berwibawa," kata Utawijaya menambahkan.
Utawijaya tak menampik pihaknya turut memantau kondisi terkini soal intoleransi di Jabar. Adanya FGD dan SE yang akan diterbitkan merupakan upaya agar intoleransi tak menyebar melalui lembaga penyiaran.
"Karena intoleransi itu pintu masuk radikalisme, radikalisme pintu masuk terorisme. Intoleran belum tentu terorisme. Kalau terorisme, sudah tentu radikal dan intoleran," katanya.
(sud/dir)