Hukum Jual Beli Makanan Haram atau Syubhat bagi Muslim

Hukum Jual Beli Makanan Haram atau Syubhat bagi Muslim

Tia Kamilla - detikHikmah
Sabtu, 13 Des 2025 10:00 WIB
Hukum Jual Beli Makanan Haram atau Syubhat bagi Muslim
Ilustrasi jual beli makanan haram atau syubhat. Foto: Getty Images/kckate16
Jakarta -

Islam membolehkan jual beli karena termasuk bagian dari muamalah yang dibutuhkan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Namun, bagi seorang muslim, tidak semua jenis makanan boleh diperdagangkan begitu saja. Ada makanan yang jelas halal, ada yang haram, dan ada pula yang masuk kategori syubhat.

Secara bahasa, syubhat mengandung arti sesuatu yang gelap, samar, atau tidak jelas, sehingga sulit dibedakan antara halal dan haram. Karena itulah, memahami bagaimana Islam memandang jual-beli makanan haram atau syubhat menjadi penting. Bukan hanya agar transaksi yang dilakukan sah, tetapi agar usaha dan rezeki yang diperoleh tetap bersih serta diridhai Allah SWT.

Hukum Jual Beli Makanan Haram atau Syubhat

Dalam ajaran Islam, bukan hanya soal makanannya saja yang harus halal, tetapi perihal jual belinya yang harus sesuai aturan syariat. Jual beli makanan yang jelas-jelas haram, seperti babi, minuman beralkohol, daging yang tidak disembelih secara halal, atau barang najis lainnya tidak boleh dilakukan. Transaksi seperti ini dianggap batil alias tidak sah, baik untuk yang menjual maupun yang membeli, karena bertentangan dengan aturan syariah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dasar hukumnya, Allah SWT sudah menjelaskan dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 275,

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

ADVERTISEMENT

Artinya: "Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya."

Dalam buku Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah karya DR. Mardani, dijelaskan bahwa syubhat adalah perkara yang bercampur antara halal dan haram. Artinya, statusnya belum jelas. Kita tidak tahu apakah suatu barang, termasuk makanan, benar-benar halal atau justru haram untuk diperjualbelikan.

Sebab statusnya yang tidak jelas, makanan syubhat juga perlu dihindari. Mengutip buku Menggenggam Dunia Menuju Surga karya Suhari, perkara syubhat bisa menyeret seseorang ke hal haram jika tidak hati-hati. Inilah alasan mengapa jual beli makanan yang syubhat pun sebaiknya tidak dilakukan, risikonya jauh lebih besar daripada keuntungannya.

Rasulullah SAW sudah mengingatkan hal ini. Beliau bersabda,

"Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara syubhat (samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)-Nya. Barang siapa yang menghindari perkara syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barang siapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar, maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang berada di dekat pagar larangan (milik orang) adan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki larangan (undang-undang). Ingatlah bahwa larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula jasadnya, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu adalah hati." (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas menjelaskan bahwa yang halal itu jelas, dan yang haram juga jelas. Di antara keduanya ada perkara syubhat yang tidak banyak diketahui orang. Siapa yang menjauhi syubhat berarti ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Sebaliknya, yang mendekati syubhat dikhawatirkan akan jatuh pada yang haram.

Ini menjadi dasar penting dalam menentukan hukum jual beli makanan haram atau syubhat. Jika suatu makanan jelas haram, menjualnya pun haram. Jika makanan itu syubhat, lebih baik dihindari agar tidak sampai terlibat dalam transaksi yang bisa merugikan diri sendiri.

Jenis-jenis Syubhat dalam Islam

Mengutip penjelasan sebelumnya, hal-hal yang halal dan haram biasanya sudah jelas. Yang membuat bingung justru perkara syubhat, yaitu sesuatu yang masih samar dan belum pasti hukumnya. Ibnul Mundzir RA membagi syubhat menjadi tiga macam, yaitu:

1. Hal yang Aslinya Haram, tapi Jadi Ragu karena Tercampur

Ini terjadi ketika ada sesuatu yang haram, tetapi kemudian bercampur dengan yang halal sehingga tidak bisa dibedakan lagi. Contohnya, ada dua kambing. Satu disembelih oleh orang kafir, satu lagi oleh muslim. Namun, kita tidak tahu yang mana. Karena tidak jelas, maka statusnya jadi syubhat. Kecuali kalau sudah pasti diketahui, barulah hukumnya jelas.

2. Hal yang Aslinya Halal, tapi Timbul Keraguan

Jenis ini terjadi ketika sesuatu pada dasarnya halal, tetapi orangnya sendiri merasa ragu. Misalnya, seorang istri bingung apakah ia sudah dicerai atau belum. Atau seseorang yang baru selesai wudhu lalu ragu, apakah wudhunya sudah batal atau tidak. Karena muncul keraguan, hukumnya menjadi syubhat sampai ada kepastian.

3. Hal yang Memang Diragukan Halal atau Haramnya

Jenis ini adalah syubhat yang paling baik dihindari. Contohnya, Rasulullah SAW pernah menemukan sebutir kurma di atas tikarnya. Beliau ingin memakannya, lalu membatalkan niat tersebut karena khawatir kurma itu berasal dari sedekah padahal beliau tidak boleh menerima sedekah. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits:

"Ketika masuk rumah, aku mendapati kurma di atas tikarku. Aku ambil untuk aku makan. Akan tetapi aku membatalkannya, karena takut kurma itu berasal dari sedekah." (HR Bukhari dan Muslim)

Barang atau makanan yang syubhat bisa membawa dampak yang tidak baik bagi orang yang mengonsumsinya. Sebab, makanan haram atau yang mendekati haram cenderung membuat seseorang lebih mudah terjerumus pada perbuatan yang tidak baik. Apa yang kita makan bisa mempengaruhi hati dan perilaku kita. Karena itu, menjauhi makanan syubhat bukan hanya soal menjaga tubuh, tetapi juga menjaga kebersihan hati dan akhlak.

Rukun Jual Beli yang Sah dalam Islam

Mengutip buku Fikih Sunnah 5 karya Sayyid Sabiq, suatu jual beli dianggap sah jika ada ijab dan kabul, yaitu pernyataan saling setuju antara penjual dan pembeli. Namun, untuk barang kecil atau remeh-misalnya barang murah atau transaksi yang sangat sederhana-jual beli bisa cukup dilakukan dengan saling menyerahkan barang dan sama-sama rela. Hal seperti ini biasanya mengikuti kebiasaan atau tradisi yang berlaku di masyarakat.

Syarat-syarat Orang yang Melakukan Akad Jual Beli

Masih berdasarkan sumber yang sama, orang yang melakukan akad harus berakal dan mumayyiz (sudah bisa membedakan mana yang baik dan tidak). Karena itu, akad yang dilakukan oleh orang gila, orang mabuk, atau anak kecil yang belum mumayyiz dianggap tidak sah.

Jika seseorang kadang sadar dan kadang tidak (misalnya gangguan jiwa), maka akad yang ia lakukan saat sadar tetap sah, sedangkan akad saat tidak sadar tidak sah.

Untuk anak kecil yang sudah mumayyiz, akadnya bisa sah asalkan ada izin dari walinya. Jika wali mengizinkan, barulah akad tersebut dibenarkan oleh syariat.

Syarat-syarat Barang yang Diakadkan

Ada enam syarat agar suatu barang boleh diperjualbelikan, yaitu:

1. Barangnya suci, bukan najis.

2. Bermanfaat, bisa digunakan untuk hal yang baik.

3. Dimiliki oleh orang yang menjual atau ia punya hak untuk menjualnya.

4. Bisa diserahkan, artinya barang tersebut benar-benar dapat diberikan kepada pembeli.

5. Diketahui dengan jelas, misalnya jenis, ukuran, atau kondisinya.

6. Barang sudah diterima, terutama dalam jual beli tertentu yang menuntut serah terima langsung.

Hikmah Adanya Jual Beli yang Halal

Allah SWT menetapkan aturan jual beli sebagai bentuk kemudahan bagi manusia. Setiap orang memiliki banyak kebutuhan, seperti makanan, pakaian, dan keperluan hidup lainnya. Semua itu tidak mungkin dipenuhi sendiri tanpa bantuan orang lain.

Karena itu, manusia saling bertukar barang atau uang. Ia memberikan sesuatu yang ia miliki dan tidak butuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang dibutuhkannya dari orang lain. Dengan cara inilah kebutuhan hidup dapat terpenuhi secara baik dan adil.




(kri/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads