Perbedaan Habib, Syekh, Kyai, Ustaz, dan Gus kerap menimbulkan kebingungan di masyarakat. Meski sama-sama digunakan untuk tokoh agama, setiap gelar memiliki sejarah, fungsi, dan konteks penggunaan yang tidak selalu sama.
Simak berikut ini pembahasan mengenai perbedaan dari gelar-gelar keagamaan tersebut.
1. Habib
Menurut buku Ustadz Abdul Somad Menjawab yang disusun H Abdul Somad, Habib artinya yang tercinta atau orang yang dicintai. Rasulullah SAW selalu memanggil kedua cucunya yaitu Hasan dan Husein dengan panggilan ya habibi, wahai yang kucintai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Panggilan tersebut berlanjut sampai orang-orang memanggil anak cucu Hasan dan Husein dengan sebutan Habib. Masyarakat Islam memanggil keturunan Nabi Muhammad SAW dengan sebutan Habib sebagai ungkapan sayang kepada sang rasul.
Diterangkan dalam buku Melampaui Perdebatan Nasab: Majalah Tebuireng Edisi 95 oleh Tim Redaksi Majalah Tebuireng, istilah habib mengacu kepada keturunan Rasulullah SAW yang berasal dari Hadramaut Yaman.
Sementara keturunan Nabi Muhammad SAW yang bukan dari Hadramaut umumnya memakai gelar "Sayyid" atau "Syarif". Bagi para perempuan keturunan Nabi Muhammad SAW, di Indonesia umumnya disebut "Syarifah".
2. Syekh
Syekh merupakan sebutan yang umum disematkan kepada para tokoh agama. Dalam Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali karya M. Abdul Mujieb dkk., istilah ini berarti laki-laki tua atau seseorang yang dihormati, sering juga dipahami sebagai sesepuh.
Gelar Syekh digunakan untuk menyebut pemimpin spiritual, guru, atau pimpinan tarekat. Selain itu, istilah ini juga menjadi gelar kehormatan bagi ulama, tokoh masyarakat, kepala suku, hingga figur yang memiliki otoritas keagamaan seperti pemberi fatwa atau pengurus lembaga keagamaan. Dalam beberapa konteks, gelar Syekh bahkan dipakai untuk menyebut pimpinan profesi tertentu, pejabat militer, perdana menteri, maupun rektor perguruan tinggi.
3. Kyai
Kyai merupakan sebutan khas Indonesia, terutama di Jawa, yang umumnya ditujukan kepada tokoh agama yang usianya lebih senior dibanding ustaz. Dalam buku Pesantren Gen Z, Baehaqi menjelaskan bahwa kyai dipandang sebagai sosok yang sangat dihormati karena keilmuannya, kebijaksanaannya, serta kedalaman pemahamannya terhadap ajaran Islam.
Dalam tradisi pesantren, posisi kyai sangat tinggi. Ia biasanya menjadi pendiri, pengasuh, pemimpin, sekaligus penanggung jawab utama sebuah pesantren. Pengaruhnya pun kuat di tengah masyarakat, hingga sering dianggap sebagai figur yang suci dan layak dijadikan teladan dalam ilmu maupun akhlak.
Buku Peran Ulama Habaib Betawi Dalam Lintasan Sejarah yang diedit oleh Kusnadi menyebut bahwa kyai adalah orang yang memiliki ilmu agama yang dibarengi amal dan akhlak sesuai ilmunya. Dikutip dalam buku tersebut, Saiful Akhyar Lubis juga menegaskan bahwa kyai adalah tokoh sentral pesantren; maju mundurnya lembaga pesantren sangat bergantung pada wibawa dan kharisma kyainya. Tidak jarang, ketika seorang kyai wafat, pamor pesantren menurun jika penerusnya tidak memiliki pengaruh sebesar pendahulunya.
Beberapa ulama turut menjelaskan makna kyai dari sisi keimanan. Mengutip penjelasan Abdullah ibnu Abbas dalam buku tersebut, kyai digambarkan sebagai orang yang memahami bahwa Allah SWT berkuasa atas segala sesuatu. Sementara Mustafa al-Maraghi menekankan bahwa kyai adalah sosok yang menyadari keagungan Allah sehingga menjauhi maksiat. Sementara itu, Sayyid Quthb memaknai kyai sebagai orang yang merenungi ayat-ayat Allah hingga mencapai ma'rifatullah secara mendalam.
4. Ustaz
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ustaz adalah guru agama atau guru besar (laki-laki). Sebutan ustaz tidak hanya di Indonesia melainkan juga di negara-negara lain.
Dikutip dari buku Berbisnis dengan Allah Lewat Supermarket Syariah karya Fendi Leong dan Fahruddin, istilah ustaz merujuk pada sosok guru, khususnya yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman.
Seorang ustaz bertanggung jawab menyampaikan pengetahuan yang benar (al-haq) serta terus memperbarui wawasannya melalui berbagai bacaan, baik dari literatur klasik maupun kontemporer. Ustaz juga dituntut memahami realitas zaman sehingga mampu menjelaskan ajaran Islam secara utuh dan mencerdaskan jamaahnya.
Di Indonesia sendiri, sebutan ustaz telah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Gelar ini lazim diberikan kepada tokoh agama, guru pengajar ilmu Islam, atau seseorang yang aktif berdakwah di lingkungan masjid. Di sejumlah daerah, bahkan para lulusan pesantren kerap dipanggil ustaz secara spontan sebagai bentuk penghormatan.
Umumnya, panggilan ustaz disematkan pada guru agama semua level, entah itu anak-anak, remaja hingga dewasa. Tetapi, di Mesir istilah ustaz memiliki kedudukan yang sangat tinggi.
Dikutip dari buku Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur'an oleh Dr Abuddin Nata, gelar ustaz di Mesir digunakan untuk menyebut doktor yang sudah mencapai gelar profesor. Ustaz juga digunakan di dunia kampus untuk menyebut dosen.
5. Gus
Penyebutan gus cukup dikenal dalam tradisi pesantren di Indonesia. Menurut buku Sorban Bapak karya M. Samsul Hidayat, gus merupakan gelar berbahasa Jawa yang diberikan kepada anak kiai yang cerdas dan memiliki keluasan ilmu sebagaimana ayahnya. Gelar ini tidak dapat disematkan kepada sembarang orang, melainkan khusus bagi putra kiai yang memang menunjukkan kemampuan dalam memahami ilmu agama.
Rizem Aizid dalam Selayang Pandang K.H. Abdurrahman Wahid juga menjelaskan bahwa sebutan gus awalnya digunakan untuk para keturunan ulama atau kiai di lingkungan pesantren. Secara makna, gus dipahami sebagai sebutan "mas" atau "abang" bagi anak laki-laki.
Seiring perkembangan tradisi, gelar ini semakin identik dengan putra kiai, khususnya dalam lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, penyebutannya pun tetap dijaga agar hanya digunakan untuk mereka yang memang berasal dari keluarga kiai.
(inf/inf)












































Komentar Terbanyak
Penjelasan Kemenag soal Penetapan Waktu Subuh di Indonesia
Hukum Memelihara Anjing di Rumah Menurut Hadits dan Pendapat 4 Mazhab
7 Adab terhadap Guru Menurut Ajaran Rasulullah dan Cara Menghormatinya