Hati-hati Tathayyur, Ini Hukumnya dalam Islam

Hati-hati Tathayyur, Ini Hukumnya dalam Islam

Hanif Hawari - detikHikmah
Sabtu, 01 Nov 2025 14:00 WIB
Ilustrasi burung di malam hari
Ilustrasi tathayyur (Foto: Unsplash/UnKknown Traveller)
Jakarta -

Dalam hidup, setiap orang pernah mengalami hal-hal yang buruk. Ketika itu terjadi, sebagian orang mungkin merasa sedang sial atau terkena nasib buruk.

Namun, dalam Islam, ada sebuah konsep yang membahas tentang keyakinan terhadap kesialan yang disebut tathayyur. Istilah ini sering kali dikaitkan dengan perasaan takut atau was-was terhadap pertanda tertentu.

Lantas, apa sebenarnya tathayyur itu dan bagaimana hukumnya dalam pandangan Islam?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengertian Tathayyur

Tathayyur atau biasa disebut juga thiyarah adalah istilah dalam Islam yang merujuk pada keyakinan terhadap kesialan yang dikaitkan dengan suatu tanda atau peristiwa tertentu. Contohnya seperti merasa sial ketika melihat cicak jatuh, duduk di depan pintu, atau melewati jalan tertentu.

ADVERTISEMENT

Mengutip buku 101 Rahasia Mendidik Anak Saleh dan Salihah karya Ipnu Rinto Nugroho, kata tathayyur berasal dari bahasa Arab 'thair' yang berarti burung. Pada masa lalu, masyarakat Arab kuno menggunakan burung untuk mengundi nasib dan menentukan keputusan penting.

Jika burung yang dilepaskan terbang ke arah kanan, mereka meyakini hal itu sebagai pertanda baik. Sebaliknya, jika burung tersebut terbang ke kiri, maka dianggap sebagai pertanda buruk yang membawa kesialan.

Keyakinan semacam ini kemudian disebut sebagai tathayyur karena berangkat dari kebiasaan tersebut. Dalam perkembangannya, konsep tathayyur tidak hanya terkait burung, tetapi juga terhadap benda, angka, waktu, atau kejadian tertentu yang dianggap membawa sial.

Hukum Tathayyur dalam Islam

Menurut buku Dijamin Masuk Surga Tanpa Hisab karya Kaha Anwar, tathayyur termasuk perbuatan yang diharamkan dalam Islam. Hal ini karena tathayyur tergolong sebagai bentuk kesyirikan yang menodai kemurnian tauhid seorang Muslim.

Orang yang ber-tathayyur dianggap menolak dan menyalahi takdir yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Mereka seolah meyakini bahwa nasib baik atau buruk bisa dipengaruhi oleh hal selain kehendak-Nya.

اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.

Artinya: "Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya." HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 909), Abu Dawud (no. 3910), at-Tirmidzi (no. 1614), Ibnu Majah (no. 3538), Ahmad (I/389, 438, 440), Ibnu Hibban (Mawaariduzh Zham'aan no. 1427), at-Ta'liiqatul Hisaan 'alaa Shahiih Ibni Hibban (no. 6089) dan al-Hakim (I/17-18). Lafazh ini milik Abu Dawud, dari Sahabat Ibnu Mas'ud. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 429).

Seseorang yang melakukan tathayyur dianggap tidak memiliki sikap tawakal kepada Allah SWT karena bergantung pada selain-Nya. Ia menaruh keyakinan pada sesuatu yang tidak memiliki dasar yang benar, sehingga menunjukkan adanya keraguan dalam hatinya.

Contoh Tathayyur

Kembali mengutip dari buku Dijamin Masuk Surga Tanpa Hisab karya Kaha Anwar, contoh tathayyur ini juga diceritakan Allah dalam Al-Quran.

Perbuatan tathayyur telah dikenal sejak masa para nabi, termasuk pada zaman Nabi Saleh. Saat itu, kaum Tsamud menganggap kehadiran seorang nabi di tengah mereka membawa kesialan, namun anggapan tersebut dibantah dengan tegas oleh Nabi Saleh.

Dalam surat An-Naml ayat 47, Allah SWT berfirman,

قَالُوا اطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَنْ مَّعَكَۗ قَالَ طٰۤىِٕرُكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ تُفْتَنُوْنَ ۝٤٧

Mereka menjawab, "Kami bernasib malang karena engkau dan orang-orang yang bersamamu." Dia (Saleh) berkata, "Nasibmu (malang atau tidak ditetapkan) di sisi Allah (bukan karena kami). Kamu adalah kaum yang sedang diuji."

Dikutip dari tafsir Tahlili di website Kemenag, salah satu contoh tathayyur terjadi pada masa Nabi Saleh ketika kaum Tsamud merasa sial dengan keberadaan beliau dan para pengikutnya.

Mereka beranggapan bahwa berbagai musibah yang menimpa, seperti kekeringan dan bencana, disebabkan oleh ajakan Nabi Saleh untuk meninggalkan berhala.

Kaum Tsamud juga mempercayai pertanda dari burung sebagai penentu nasib mereka. Jika burung terbang ke arah kanan, mereka menganggapnya sebagai pertanda baik, sedangkan jika terbang ke kiri, mereka percaya akan datang kesialan dan bencana.

Keyakinan semacam itu merupakan bentuk tathayyur karena mengaitkan keberuntungan dan kesialan dengan tanda-tanda tertentu selain Allah SWT. Padahal, Nabi Saleh menegaskan bahwa segala sesuatu yang baik maupun buruk adalah ketentuan dari Allah dan menjadi ujian bagi manusia untuk tetap beriman serta bertawakal.

Wallahu a'lam.




(hnh/inf)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads