Masjid Istiqlal menggelar Seminar Nasional bertajuk "Taubat Ekologis: Refleksi Kebijakan Tatakelola SDA", Selasa (17/12/2025). Kegiatan ini mempertemukan masyarakat, akademisi, jejaring petani, organisasi lingkungan, serta tokoh lintas agama untuk membahas kerusakan lingkungan yang semakin dirasakan sebagai krisis kehidupan sehari-hari.
Seminar tersebut menandai perluasan peran Masjid Istiqlal, tidak hanya sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai ruang dialog publik dalam merespons persoalan sosial dan lingkungan. Berbagai pihak menilai krisis ekologis tidak dapat diselesaikan semata melalui pendekatan teknokratis, melainkan membutuhkan refleksi moral, spiritual, dan kebijakan yang berkelanjutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam keterangan tertulis yang diterima detikHikmah, (17/12/2025) Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A., menekankan pentingnya ekoteologi sebagai cara pandang terhadap alam. Ia menyatakan, "ekoteologi sebagai cara pandang: bumi bukan objek eksploitasi, melainkan amanah ilahi yang sakral. Karena itu, taubat ekologis tidak berhenti pada rasa bersalah spiritual, tapi harus menjelma jadi koreksi perilaku, kebijakan, dan tata kelola."
Ia juga menegaskan bahwa tidak semua realitas dapat dijelaskan melalui pendekatan empiris. Menurutnya, terdapat keterhubungan semesta yang tidak selalu terukur, namun nyata dampaknya dalam kesatuan kosmik ciptaan. Dengan merujuk pemikiran Ibn Arabi tentang tajalli dan konsep "acosmos", ia menegaskan bahwa alam tidak pantas diperlakukan sebagai "barang mati".
Menurut Nasaruddin, bahasa agama memiliki kekuatan moral yang besar untuk mendorong perubahan, terutama ketika krisis lingkungan tidak efektif ditangani melalui bahasa teknokratis semata. Kementerian Agama, lanjutnya, merespons tantangan tersebut melalui pengembangan "Kurikulum Cinta". Ia pun menutup paparannya dengan ajakan reflektif, "Tundalah kiamat dengan merawat bumi".
Ketua Gerbang Tani, Idham Arsyad, menyampaikan bahwa kondisi lingkungan di Sumatera harus dibaca sebagai panggilan taubat ekologis. Ia menilai bencana alam tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan dari hulu hingga hilir. Dampak kerusakan lingkungan, menurutnya, membuat proses rehabilitasi dan rekonstruksi membutuhkan waktu panjang, bahkan bisa mencapai 25 hingga 30 tahun.
Ia menekankan mandat manusia sebagai khalifah di bumi, di mana relasi manusia dan alam seharusnya bersifat rahmatan lil 'alamin, bukan eksploitatif. Karena krisis lingkungan dinilai "tidak ringan", ia menegaskan kolaborasi lintas pihak-NGO, komunitas keagamaan, hingga kementerian-harus menjadi pola kerja nyata, bukan sekadar slogan.
Ketua Panitia Pelaksana yang juga Ketua Program Studi (Kaprodi) Akuntansi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Dr. Muhammad Aras Prabowo, S.E., M.Ak., mengatakan banjir berulang di Sumatera dalam satu dekade terakhir tidak hanya menimbulkan kerugian material dan korban jiwa, tetapi juga berdampak pada kerusakan ekosistem, gangguan sosial-ekonomi, serta trauma berkepanjangan.
Oleh karena itu, Badan Pengelola Masjid Istiqlal bersama Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI), UNUSIA, dan Gerbang Tani memandang perlu adanya forum nasional untuk merefleksikan kebijakan, menyusun rekomendasi, dan mendorong gerakan taubat ekologis.
Dari sisi data dan arah koreksi kebijakan, Chalid Muhammad dari Institute Hijau Indonesia menyebut kondisi lingkungan Indonesia sebagai "orkestrasi kerusakan ekologis" yang terjadi di darat, laut, sungai, dan udara. Ia memaparkan sejumlah data, di antaranya 46 persen dari sekitar 70.000 sungai tercemar berat, limpahan plastik ke laut, konflik agraria yang meluas, serta risiko ekologis dari industri ekstraktif.
Ia menekankan perlunya pengakuan terhadap tata kelola sumber daya alam yang selama ini merusak dan hanya menguntungkan segelintir pihak. Menurutnya, pemulihan lingkungan harus berbasis ekonomi warga, bukan mengejar pertumbuhan eksploitatif. Dalam rekomendasinya, ia menyoroti pentingnya moratorium izin, revisi regulasi berbasis keadilan sosial-ekologis, pelibatan bermakna masyarakat melalui prinsip FPIC, penguatan ekonomi warga, penerapan prinsip polluter pays, serta pengawasan independen.
Staf Khusus Menteri Agama RI, H. Farid F. Saenong, M.A., Ph.D., menegaskan bahwa taubat ekologis mensyaratkan kesadaran dan pengakuan atas "dosa ekologis" manusia terhadap alam. Ia menilai kebijakan publik akan lebih mudah diterima ketika dikomunikasikan dengan nilai dan bahasa agama, serta mendorong adanya "tafsir ulang" teks keagamaan agar lebih kontekstual dengan krisis ekologis.
Dalam praktiknya, ia mengkritik eksploitasi alam yang meninggalkan "lubang-lubang besar" di bumi serta penebangan hutan secara masif. Ia juga menegaskan peran pesantren dan kalangan agama dalam menjaga lingkungan, salah satunya melalui penanaman pohon sebagai ibadah lintas generasi.
Sementara itu, Guru Besar Pascasarjana PTIQ, Prof. Dr. Hj. Nur Arfiyah Febriani, M.A., menyoroti akar psikologis krisis lingkungan yang bersumber dari bias antroposentris. Cara pandang tersebut, menurutnya, membuat makhluk non manusia tidak diperlakukan sebagai "kerabat bermoral", sehingga mendorong eksploitasi alam. Ia menawarkan konsep eco-empathy dalam Kurikulum Berbasis Cinta untuk membangun relasi yang harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan.
Dari perspektif lintas iman, Sekretaris Komisi HAK KWI, Romo Aluysius Budi Purnomo, menegaskan bahwa "pertobatan ekologis" bukan sekadar gagasan teologis, tetapi dorongan spiritual untuk bertindak nyata menjaga lingkungan. Ia mengutip Ensiklik Laudato Si' sebagai kritik terhadap cara pikir teknokratik dan ketergantungan pada mekanisme pasar.
Ia juga menekankan pentingnya gerakan kesederhanaan hidup melalui konsep less is more atau ugahari sebagai "jalan kecil cinta" dalam praktik sehari-hari. Dari sisi kebijakan, ia mengingatkan bahwa AMDAL harus dilakukan sejak awal secara transparan, bebas dari tekanan politik dan ekonomi, serta berlandaskan prinsip kehati-hatian apabila terdapat ancaman kerusakan lingkungan yang serius.
(dvs/inf)












































Komentar Terbanyak
Sosok Pria Muslim Hentikan Penembakan Massal Yahudi di Pantai Bondi
Benarkah Malaikat Tidak Masuk Rumah yang Ada Anjingnya? Ini Penjelasan Ulama
Bolehkah Rujuk Tanpa Menikah Ulang Setelah Talak 1?