Taqy Malik Bangun Masjid di Atas Tanah Sengketa, Begini Hukumnya dalam Islam

Taqy Malik Bangun Masjid di Atas Tanah Sengketa, Begini Hukumnya dalam Islam

Indah Fitrah - detikHikmah
Rabu, 15 Okt 2025 11:00 WIB
Taqy Malik
Taqy Malik. Foto: Instagram @taqy_malik
Jakarta -

Influencer sekaligus pengusaha Taqy Malik tengah terjerat persoalan hukum terkait sengketa tanah. Ia diketahui belum melunasi pembayaran sebesar Rp 6 miliar dari total Rp 9 miliar untuk pembelian delapan kavling tanah di Bogor, Jawa Barat.

Dilansir detikHot, dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Bogor, Ahmad Taqiyuddin Malik digugat oleh Sirhan dan Sania Sanabel Bisyir atas kasus wanprestasi pada 31 Januari 2024.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah melalui proses hukum hingga tingkat kasasi, Taqy akhirnya secara sukarela mengembalikan tujuh kavling tanah kepada pemiliknya dan mengosongkan tanah sengketa yang di atasnya berdiri Masjid Malikal Mulki. Taqy tetap berhak atas tanah yang telah berdiri rumahnya, yang kini menjadi tempat tinggal.

ADVERTISEMENT

Mantan suami Salmafina Sunan itu kemudian mengakui kelalaiannya dan menyampaikan permohonan maaf secara terbuka.

"Saya pribadi memohon maaf ya, memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada pihak penjual tanah dan juga kepada pihak keluarga yang bersangkutan atas segala sesuatu yang sudah terjadi," ujarnya di Bogor, Sabtu (11/10/2025), dikutip detikHot.

Terkait kasus sengketa lahan Masjid Malikul Mulki yang dibangun oleh Taqy Malik, muncul sejumlah pertanyaan terutama mengenai hukumnya dalam pandangan Islam. Bolehkah membangun masjid di atas tanah yang belum diwakafkan? Untuk lebih jelasnya simak pembahasannya berikut ini.

Hukum Membangun Masjid di Atas Lahan yang Belum Diwakafkan

Semangat membangun masjid secara perorangan atau pun kelompok masyarakat memang layak diapresiasi. Namun demikian, status hukumnya perlu menjadi perhatian penting. Mengingat masjid digunakan untuk kepentingan umat sehingga secara fikih harus berstatus wakaf.

Hal ini mengacu pada firman Allah SWT dalam surah Al-Jin ayat 18 yang berbunyi:

وَّاَنَّ الْمَسٰجِدَ لِلّٰهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللّٰهِ اَحَدًاۖ ۝١٨

Artinya: "Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allah. Maka, janganlah menyembah apa pun bersamaan dengan (menyembah) Allah."

Selain itu, terdapat pula kaidah fikih yang menyebutkan "Lâ yakûnu al-masjidu illâ waqfan" - tidaklah sesuatu disebut masjid kecuali ia berstatus wakaf.

Namun demikian, dalam hukum Islam, pembangunan sarana pendidikan dan ibadah seperti pesantren maupun masjid dibolehkan selama bertujuan untuk kemaslahatan umat. Dalam Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra karya Ibnu Hajar al-Haitami (juz 3, hlm. 274), disebutkan bahwa pembangunan masjid di atas tanah pribadi sah apabila tanah tersebut diwakafkan untuk kepentingan umum.

Sejalan dengan itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa Nomor 54 Tahun 2014 menegaskan tanah untuk fasilitas ibadah harus dipandang sebagai tanah wakaf.

MUI juga menegaskan meski legalisasi tanah wakaf belum dilakukan secara formal, keberadaan masjid atau pesantren menunjukkan bahwa lahan tersebut diperuntukkan bagi kepentingan umat. MUI mendorong sertifikasi melalui BWI atau Kementerian Agama agar penggunaannya tetap terjamin dan terhindar dari potensi sengketa.




(inf/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads