Eks Sekjen Kemenag Kritik Kemenhaj soal Skema Daftar Tunggu Antrean Haji

Eks Sekjen Kemenag Kritik Kemenhaj soal Skema Daftar Tunggu Antrean Haji

Anisa Rizki Febriani - detikHikmah
Senin, 01 Des 2025 17:00 WIB
Plt. Inspektur Jenderal Kementerian Agama (Kemenag) Nizar Ali
Eks Sekjen Kemenag Nizar Ali (Foto: Dok. Kemenag)
Jakarta -

Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj) RI menerapkan skema berbasis daftar tunggu atau waiting list dalam pembagian kuota haji 2026. Kemenhaj menilai skema tersebut lebih adil dengan fokus memperbaiki persoalan waiting list jemaah haji, mengacu pada undang-undang.

"Pola perhitungan kuota selama ini tidak merujuk undang-undang yang benar. Jadi sejak 2012 sampai dengan 2025 pola pembagian kuota per provinsi itu jadi temuan BPK. Salah satu temuannya karena perhitungannya tidak sesuai dengan undang-undang," terang Dahnil saat ditemui usai pembukaan Munas XI MUI di Hotel Mercure Ancol Jakarta, Kamis (20/11/2025) lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menanggapi, Eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama (Kemenag) RI periode 2020-2024 Nizar Ali mengatakan pernyataan tersebut perlu diluruskan agar tak ada prasangka buruk menyalahkan kebijakan Kemenag sebelumnya mengenai sistem pembagian kuota.

Menurutnya, BPK tidak menyebutkan pembagian kuota tidak sesuai UU, namun yang benar adalah tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Agama.

ADVERTISEMENT

"Dalam rilisnya BPK menyatakan bahwa "terdapat penetapan kuota per provinsi tahun 2022 yang tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2021. Hal itu ditunjukkan dengan terdapatnya beberapa provinsi (tidak seluruhnya) yang jika dihitung berdasarkan jumlah penduduk muslim seharusnya mendapatkan kuota lebih banyak daripada kuota saat ini"," tulis Nizar dalam kolom yang tayang di detikHikmah, Senin (1/12/2025).

Dia menegaskan pembagian kuota selama ini melalui Peraturan Menag adalah benar dan sesuai peraturan Perundang-undangan, tetapi implementasinya di lapangan ada beberapa daerah yang tidak sesuai dengan PMA tersebut. Ini sejalan dengan Pasal 13 ayat (22) UU Nomor 8 Tahun 2019 yang menyatakan:

Pembagian kuota haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan: (a) jumlah penduduk muslim antarprovinsi; atau (b) proporsi jumlah daftar tunggu Jemaah Haji antarprovinsi.

Kemudian, Nizar menilai skema berbasis waiting list justru menjurus ke "pembajakan" kuota di daerah. Dia memaparkan sejumlah argumen untuk menepis skema tersebut adil.

"Pembagian kuota skema waiting list ini menyalahi kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam OKI pada tahun 1987 yang sepakat pembagian kuota haji berbasis jumlah penduduk muslim di sebuah negara dengan rasio 1000:1 (setiap 1000 penduduk muslim mendapat jatah kuota haji 1 orang). Karena itu, basis inilah yang dijadikan dasar penetapan Kementerian Agama selama ini dan dirasa paling adil dan mudah untuk diterapkan," jelasnya.

Nizar teringat Menteri Agama kala itu, Lukman Hakim Saifuddin, juga memiliki ide menyamakan masa tunggu kuota nasional. Tetapi, dia menilai dasar logika lemah dan skema OKI menjadi yang paling adil.

Penerapan skema waiting list menurut Nizar tanpa memperhatikan aspek lain maka jumlah jemaah yang akan berangkat tidak memiliki kepastian kapan mereka pergi haji.

"Mereka harus menunggu kepastian pembagian kuota dengan melihat masa tunggu dan jumlah antrian di berbagai daerah," ujar Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Periode 2017-2020 itu.

Alih-alih ada kepastian, lanjut Nizar, formula kesamaan masa tunggu 26 tahun di seluruh provinsi yang diklaim Kemenhaj belum jelas di tahun berapa formula waiting list tersebut sama di seluruh provinsi akan mencapai titik kesamaan masa tunggu.

"Apakah sama di tahun 2026, 2027, 2028 atau 2035, hingga sampai saat ini pun Kementerian Haji dan Umrah belum merilis tahun berapa akan ketemu titik kesamaan waiting list di semua provinsi," ujarnya.

Masa Tunggu Haji Fluktuatif dan Sulit Diprediksi

Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menjelaskan masa tunggu setiap tahun berubah-ubah karena fluktuatif dan sulit diprediksi. Hal ini tergantung pergerakan jumlah pendaftar setiap tahun di setiap provinsi yang tidak bisa diprediksi.

"Semakin banyak jumlah pendaftar di daerah tertentu, semakin panjang dan lama masa antrean keberangkatannya. Jadi masa tunggu sangat ditentukan oleh jumlah pendaftar. Jika pendaftar di suatu daerah lebih banyak, maka semakin lama masa tunggu keberangkatan hajinya," kata Nizar menguraikan.

Dia mencontohkan misalnya, provinsi A dan provinsi B. Jika mengacu kepada kuota dasar provinsi A misalnya diasumsikan tahun 2026 adalah 36.000, sementara tahun itu jumlah pendaftarnya 108.000, maka masa tunggu nya adalah 2 tahun, sehingga tahun 2026 calon jemaah yang berjumlah 36.000 berangkat. Berikutnya 36.000 akan diberangkatkan tahun 2027. Sisanya 36.000 akan diberangkatkan tahun 2028.

Persoalan semakin kompleks, jika pada 2027 ada lagi pendaftar 72.000, maka pendaftar ini akan menunggu di tahun 2029 dan 2030. Demikian seterusnya. provinsi B yang mendapat kuota dasar 6000 misalnya. Jika tahun 2026 calon jamaah yang mendaftar 30.000, maka masa tunggunya menjadi 5 tahun. Belum lagi ketika tahun 2026 jumlah pendaftar 36.000, maka akan mengakumulasi masa tunggu semakin lama, yakni 11 tahun.

Skema Waiting List Bisa Membajak Kuota Provinsi Lain

Jika skema waiting list diterapkan, sambungnya, ini berpengaruh skema keberangkatan dengan membajak atau mengambil kuota provinsi A yang secara riil sudah mendapat tiket keberangkatan karena provinsi B memiliki waktu tunggu lebih lama, beberapa calon jemaah provinsi A harus mundur.

"Inilah menjadi titik ketidakadilannya. karena calon jamaah yang mestinya berangkat dan sudah membayar setoran awal harus "dipaksa rela" diambil untuk calon jamaah provinsi B yang masa tunggunya lebih lama," jelasnya.

"Skema waiting list jelas tidak adil dan berpotensi menyakiti calon jamaah yang seharusnya berangkat. Mereka sudah memiliki tiket tinggal berangkat lalu tiba-tiba dimundurkan hanya karena daerah lain lebih lama antriannya," imbuh Nizar.

Skema Waiting List Berpotensi Malmanajemen

Rektor UIN Walisongo Semarang itu juga mengatakan apabila skema waiting list diterapkan bisa terjadi malmanajemen. Dia menilai letak persoalan perbedaan masa tunggu bukan pada masa tunggunya tetapi pada manajemen, khususnya pengendalian. Jumlah masa tunggu ini sulit dikendalikan jika tidak menyusun strategi manajemen yang tepat.

"Penerapan skema waiting list justru akan berpotensi pada kesalahan manajemen karena berkonsekuensi pada mengurangi calon jamaah di daerah tertentu dan menambah kuota daerah lain yang masa tunggunya lebih lama," ungkap Nizar.

Solusi Tepat Tidak Menyakiti Calon Jemaah

Menurut Nizar, solusi tepat agar tidak menyakiti hati calon jemaah yang sudah mendapat tiket keberangkatan adalah cut off (moratorium) pendaftaran di daerah yang antreannya lebih lama serta tetap membuka calon jemaah di daerah yang masa antrenya lebih cepat dari daerah lain, bukan melihat waiting list.

"Daerah yang antriannya lama, pendaftaran haji ditutup sampai pada titik dimana masa tunggu daerah lain menjadi sama. Skema inilah yang tidak akan berdampak menyakiti calon jamaah yang sudah mendapat porsi keberangkatan," paparnya.

Menurutnya, yang ditutup adalah kesempatan mendaftar dan tidak memiliki konsekuensi pengeluaran uang dari calon jemaah, sebab mereka belum mengeluarkan uang setoran awal. Cara ini, tidak memiliki dampak memangkas calon jemaah yang sudah mengeluarkan setoran awal.

Selain solusi itu, skema lainnya adalah pengendalian jumlah pendaftar setiap tahun. Setelah masa tunggu di semua daerah sama, maka dilakukan pencabutan moratorium dengan membuka kembali pendaftar dengan mengendalikan jumlah dan membatasi sesuai kuota dasar daerah tertentu.

"Jika tidak dibatasi, maka kasus kesenjangan waiting list akan terus muncul dan sulit dikendalikan," kata Nizar.

Nizar juga menyebut tambahan kuota bisa jadi solusi. Sejak kesepakatan kuota haji oleh negara-negara yang tergabung dalam OKI pada 1987, belum dilakukan update jumlah penduduk muslim. Dengan begitu, hal tersebut jadi basis negosiasi dan dasar melobi pemerintah Saudi meminta tambahan kuota.

"Jika diplomasi ini berhasil, proses distribusinya diprioritaskan hanya untuk propinsi yang masa tunggunya lebih lama. Dengan cara seperti ini, kesenjangan murakkab dapat diatasi dan secara perlahan tapi pasti akan mencapai titik kesamaan masa tunggu semua daerah, kemudian skema moratorium di provinsi yang masa tunggunya lebih lama diterapkan, propinsi lainnya yang masa tunggunya lebih pendek tetap dibuka dengan pembatasan jumlah pendaftar pada level maksimal kuota dasar provinsi," tandasnya.




(aeb/kri)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads