Di berbagai daerah, kita bisa melihat semangat umat Islam dalam membangun masjid terus meningkat. Tidak jarang, pembangunan rumah Allah itu dilakukan di atas tanah milik pribadi, sementara dana pembangunannya berasal dari sumbangan masyarakat luas.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting dari sisi hukum Islam: bagaimana kedudukan masjid yang berdiri di atas tanah pribadi? Apakah hal itu sah secara syariat, dan bagaimana status tanahnya? Pertanyaan ini penting dijawab, mengingat ada kaidah fikih yang cukup dikenal, "Lâ yakûnu al-masjidu illâ waqfan" - tidaklah sesuatu disebut masjid kecuali ia berstatus wakaf.
Apa Itu Wakaf?
Sebagaimana kaidah fikih yang dijelaskan sebelumnya yang menyebutkan "tidak ada masjid kecuali ia berstatus wakaf". Maka sebelum membahas lebih jauh, penting diketahui secara singkat makna dari wakaf itu sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari laman Badan Wakaf Indonesia, kata "Waqf" atau "Wakf" berasal dari kata Arab "Waqafa". Asal kata "Wakafa" berarti "menahan", "menghentikan", atau "bertahan" di tempat atau tetap berdiri. Kata al-Waqf dalam bahasa Arab memiliki beberapa arti yaitu menahan, menahan aset untuk diwakafkan, bukan untuk mengalihkan kepemilikan.
Dengan demikian, secara maknanya, wakaf berarti menahan suatu harta untuk kemaslahatan umum atau ibadah secara permanen. Harta yang telah diwakafkan keluar dari kepemilikan pribadi dan tidak boleh diperjualbelikan, diwariskan, atau dialihkan fungsinya kecuali sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri.
Apa Hukum Membangun Masjid di Atas Tanah Pribadi?
Terkait pembangunan masjid di tanah pribadi, para ulama memandang hal itu tidak dilarang secara syariat selama bertujuan untuk kemaslahatan umat.
Menurut penjelasan yang terdapat dalam kitab Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, juz 3, halaman 274 yang ditulis oleh Ibnu Hajar al-Haitami, menurut pendapat yang lebih kuat dari para ulama madzhab Syafi'i, jika seseorang mewakafkan sebidang tanah dengan niat untuk dijadikan masjid, maka wakafnya sah dan tanah tersebut menjadi masjid meskipun tidak dibangun di atasnya bangunan masjid. Misalnya dengan mengatakan "Saya wakafkan tanah ini sebagai masjid."
Namun mengutip kitab tersebut, jika seseorang mewakafkan sebidang tanah untuk dibanguni masjid, misalnya dengan mengatakan "Saya wakafkan tanah ini supaya dibangun masjid." Maka tidak sah wakafnya kecuali benar-benar dibangun masjid di atasnya.
Dengan demikian, secara syariat dibolehkan membangun masjid di atas tanah pribadi dengan catatan tanah tersebut telah diwakafkan dan diniatkan untuk dibanguni masjid di atasnya.
Ketentuan ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Al-Jin ayat 18 yang berbunyi:
وَّاَنَّ الْمَسٰجِدَ لِلّٰهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللّٰهِ اَحَدًاۖ ١٨
Artinya: "Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allah. Maka, janganlah menyembah apa pun bersamaan dengan (menyembah) Allah."
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa Nomor 54 Tahun 2014 tentang Status Tanah yang di Atasnya Ada Bangunan Masjid menjelaskan bahwa cara agar masjid tersebut menjadi "milik Allah" adalah dengan mengubah statusnya menjadi wakaf.
Hal tersebut didasarkan pada pendapat al-Imam Zainuddin Ibnu Nujaim, dalam kitab al-Bahru al-Raiq Syarh Kanz al-Daqaiq:
مّا الإفراز فإنه لا يُخْلَصُ لله تعالى إلاّ به، وأمّا الصلاة فيه فبركته لا بُدَّ من التسليم. عند أبي حنيفة ومحمد يُشترط تسليمه لموقوفٍ، وذلك في المسجد بالصلاة فيه.
Artinya: "Maksud dari perlunya melepaskan kepemilikan masjid (dengan mewakafkannya) adalah karena tidak ada cara untuk menjadikan masjid hanya untuk Allah Ta'ala selain dengan cara itu. Sedangkan maksud dari perlunya melakukan salat di masjid tersebut setelah wakaf adalah, menurut Abu Hanifah dan Muhammad, harus diserahkan kepada mauqûf 'alaih (yakni pihak yang menerima wakaf/umat Islam) - dan bentuk penyerahan itu dilakukan dengan melaksanakan salat di masjid tersebut."
Fatwa MUI tentang Status Tanah yang di Atasnya Ada Bangunan Masjid
Lebih lanjut, mengacu pada Fatwa MUI sebelumnya, tanah yang di atasnya berdiri masjid wajib dipandang sebagai tanah wakaf.
Artinya, sekalipun belum ada ikrar wakaf secara formal, keberadaan masjid di atas tanah tersebut menunjukkan bahwa lahan itu telah diperuntukkan bagi kepentingan umat. Karena itu, MUI mendorong agar tanah-tanah masjid yang belum berstatus wakaf segera disertifikasi melalui lembaga berwenang seperti Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Kementerian Agama.
Fatwa MUI tersebut lahir dari kenyataan ada beberapa masjid yang dibangun oleh perorangan, kelompok masyarakat, atau pemerintah dan belum punya dokumen formal wakaf, kemudian menimbulkan masalah di kemudian hari. Tidak sedikit kasus ketika ahli waris pemilik tanah menuntut kembali lahannya, menjualnya, atau mengalihfungsikannya untuk kepentingan lain. Padahal, masyarakat telah lama menggunakan tempat itu sebagai sarana ibadah.
(inf/kri)
Komentar Terbanyak
Gencatan Senjata Israel-Hamas Tercapai, Takbir Menggema di Gaza
Ini yang Disepakati Israel dan Hamas untuk Akhiri Perang Gaza
2 Tahun Perang Gaza: 67 Ribu Warga Tewas, Rumah-Tempat Ibadah Hancur