Menurut Gus Yahya, dunia saat ini sedang menghadapi krisis kemanusiaan yang ditandai oleh konflik identitas, ketimpangan, hingga persekusi atas nama agama maupun etnis. Di tengah kegentingan tersebut, Islam menurutnya punya tawaran solusi konkret.
"Islam seharusnya punya jawaban atas kemelut kemanusiaan ini. Kalau tidak, lalu apa gunanya Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam?" kata Gus Yahya.
Humanitarian Islam dan Pentingnya Konsensus
Gus Yahya menjelaskan bahwa sejak 2017, konsep Humanitarian Islam telah digagas oleh GP Ansor dan kini berkembang menjadi wacana global yang diperbincangkan secara akademik di berbagai belahan dunia.
Sebagai penguat arus pemikiran itu, PBNU mendirikan Institute for Humanitarian Islam pada November 2024 sebagai pusat produksi wacana dan pemikiran Islam yang berorientasi pada kemanusiaan.
Salah satu tawaran utama dari Humanitarian Islam, lanjutnya, adalah pentingnya membangun konsensus global yang adil dan setara. Konsensus ini, menurut Gus Yahya, bukan hanya norma sosial, tapi juga nilai yang sangat kuat dalam ajaran Islam sendiri.
"Kita menemukan bahwa konsensus adalah kunci. Dalam Islam, kesepakatan itu mengikat. Bahkan bisa menundukkan norma keagamaan yang sudah mapan," tegasnya.
Mencontoh Perjanjian Hudaibiyah
Gus Yahya lalu menyoroti Perjanjian Hudaibiyah sebagai bukti kuat bahwa Islam sangat menghormati konsensus, bahkan jika isi kesepakatan itu terasa merugikan di permukaan.
Ia mencontohkan bagaimana Nabi Muhammad SAW tetap mematuhi perjanjian meski harus menunda ibadah umrah dan mengembalikan Muslim Makkah yang membelot ke Madinah.
"Itu menunjukkan kekuatan posisi perjanjian dalam Islam. Rasulullah menghormati kesepakatan, bahkan jika konsekuensinya berat secara keagamaan," ujarnya.
Kembali ke Konsensus Internasional
Gus Yahya juga menekankan pentingnya kembali ke konsensus internasional yang telah disepakati, seperti Piagam PBB. Menurutnya, Piagam PBB adalah tonggak sejarah peradaban karena memperkenalkan dua norma penting: kesetaraan martabat manusia dan batas-batas negara yang definitif.
"Sebelum Piagam PBB, kolonialisme dan penindasan dianggap normal, bahkan dibenarkan atas nama agama oleh berbagai imperium," kata Gus Yahya.
Ia menegaskan, semua bentuk konflik antaridentitas, termasuk di India, Myanmar, China, Palestina, hingga Sudan, hanya bisa diselesaikan bila semua pihak kembali pada konsensus global tersebut dan menegakkannya secara setara.
Melalui Humanitarian Islam, PBNU mengajak seluruh bangsa dan kelompok agama di dunia untuk membangun tatanan global yang adil dan harmonis berbasis prinsip kesetaraan hak dan martabat manusia.
"Kalau mau harmonis, harus adil. Dan kalau mau adil, maka harus ada kesetaraan hak dan martabat bagi setiap manusia," pungkas Gus Yahya.
Diskusi IFHI kali ini dihadiri tokoh-tokoh seperti KH Ulil Abshar Abdalla, KH Rumadi Ahmad, KH Ahmad Suaedy, dan Sururin, serta para akademisi, jurnalis, dan aktivis kemanusiaan dari berbagai latar belakang.
(hnh/kri)
Komentar Terbanyak
Ada Penolakan, Zakir Naik Tetap Ceramah di Kota Malang
Sosok Ulama Iran yang Tawarkan Rp 18,5 M untuk Membunuh Trump
Respons NU dan Muhammadiyah Malang soal Ceramah Zakir Naik di Stadion Gajayana