Gus Yahya Minta Konsensus Kebangsaan Digelorakan Lagi

Gus Yahya Minta Konsensus Kebangsaan Digelorakan Lagi

Hanif Hawari - detikHikmah
Sabtu, 14 Jun 2025 05:00 WIB
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mendatangi gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta. Budi menjelaskan kedatangannya untuk menjalin kerja sama mewujudkan Indonesia digital 2045 dengan PBNU, Kamis (18/1/2024).
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya. )Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menekankan pentingnya aktualisasi konsensus kebangsaan agar relevan dengan dinamika sosial masyarakat saat ini. Menurutnya, nilai-nilai dasar negara seperti Pancasila dan UUD 1945 perlu dijabarkan lebih operasional agar bisa menjawab tantangan zaman.

Hal ini disampaikan Gus Yahya dalam Diskusi Rutin Forum Kramat bertema 'Pentingnya Konsensus Kebangsaan' di lobi Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, Jumat (13/6/2025).

"Seperti yang kita tahu semua, konsensus tentang dasar negara, konsensus tentang bentuk negara, konsensus tentang nilai dasar negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Pendeta Jacky Manuputti membisikkan kepada saya bahwa konsensus kebangsaan yang awal mula itu adalah PBNU: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945," ujar Gus Yahya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, menurutnya, konsensus itu kini perlu dikontekstualisasikan. Salah satunya, dengan memberikan rujukan nilai yang lebih jelas terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 agar tidak multitafsir.

"Misalnya, ada pasal yang mengatakan bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan berpendapat diatur oleh UUD. Nah, diatur dengan UU itu atas dasar nilai apa? Itu belum ada rujukannya. Ya, kita punya UU ITE, UU macam-macam perizinan ini, perizinan itu, tapi rujukan nilainya apa? Belum ada kesepakatan tentang itu," katanya.

ADVERTISEMENT

Ia juga menyoroti belum optimalnya penerjemahan undang-undang tentang hak beribadah, yang berdampak pada konflik rumah ibadah di sejumlah daerah.

"Ini bagaimana menjembatani atau mengelola perbedaan-perbedaan itu," ucap Gus Yahya.

Gus Yahya juga menyinggung soal pasal ekonomi dalam UUD 1945 yang dianggap belum merespons perkembangan zaman. Seperti dominasi produk digital hingga konsumsi mi instan yang kini merata di masyarakat.

"Tapi bagaimana misalnya dengan mi instan-mi instan yang, menurut saya, relatif sudah menguasai hajat hidup orang banyak. Siapa yang nggak makan mi instan hari ini? Atau, seperti misalnya produk-produk digital yang kita gunakan, ini seperti apa? Ini belum terjabarkan," cetusnya.

Lebih jauh, Gus Yahya mengusulkan pentingnya rumusan operasional terhadap nilai dasar negara dan konsensus etik publik. "Kalau tidak ada rambu etik, aturan hukum bisa disiasati. Hukum jadi teknis, lalu dimanipulasi sesuai kepentingan. Kita butuh kesepakatan, apa yang patut dan tidak patut dalam etika publik," pungkasnya.




(hnh/inf)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads