Mengganti Puasa Orang yang Sudah Meninggal, Bagaimana Hukumnya?

Mengganti Puasa Orang yang Sudah Meninggal, Bagaimana Hukumnya?

Indah Fitrah - detikHikmah
Jumat, 10 Jan 2025 07:15 WIB
Fidyah merupakan kewajiban yang harus dilakukan umat muslim apabila mereka tidak berpuasa. Bagaimana aturan bayar fidyah? Simak penjelasannya selengkapnya!
Membayar utang puasa. Foto: Getty Images/iStockphoto/Marina Fedorova
Jakarta -

Puasa Ramadan adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat dan wajib diganti (qadha') bila meninggalkannya.

Namun, bagaimana jika seseorang meninggal dunia tapi utang puasa yang belum sempat dibayarkan? Apakah kewajiban tersebut tetap berlaku? Bolehkah utang puasanya digantikan oleh orang lain? Untuk mengetahuinya, simak penjelasannya berikut ini.

Hukum Mengganti Puasa Ramadan

Mengganti (qadha') puasa Ramadan memiliki landasan hukum yang jelas, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 184.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Arab latin: "Ayyāmam ma'dūdāt(in), faman kāna minkum marīḍan au 'alā safarin fa 'iddatum min ayyāmin ukhar(a), wa 'alal-lażīna yuṭīqūnahū fidyatun ṭa'āmu miskīn(in), faman taṭawwa'a khairan fahuwa khairul lah(ū), wa an taṣūmū khairul lakum in kuntum ta'lamūn(a)."

ADVERTISEMENT

Artinya: "(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."

Hukum Mengganti Puasa Orang yang Sudah Meninggal

Jika seorang Muslim sakit dan tidak mampu berpuasa hingga akhirnya meninggal dunia sebelum sempat membayar utang puasanya, para ulama sepakat bahwa utang puasanya terhapus.

Namun, bagaimana jika seseorang sempat sembuh dari sakitnya, tetapi belum sempat mengganti puasanya lalu meninggal dunia? Dalam kasus ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa keluarganya harus menggantinya dengan puasa qadha', sementara yang lain berpendapat cukup dengan membayar fidyah.

Mengapa pendapat ini berbeda? Dikutip dari buku Seri Fiqih Kehidupan (5), karya Ahmad Sarwat, hal ini terjadi karena terdapat dua dalil yang berbeda pandangan. Dalil pertama menyebutkan bahwa utang puasa almarhum harus diganti dengan puasa qadha' oleh keluarganya. Sedangkan dalil kedua menyatakan bahwa membayar fidyah saja sudah cukup.

Keluarga almarhum dapat menentukan langkah mana yang diambil, baik melakukan puasa qadha' atau membayar fidyah, sesuai dengan pandangan ulama yang diyakini.

1. Mengganti Puasa dengan Qadha Puasa

Mengganti puasa orang yang sudah meninggal dengan mengqadha puasa didukung oleh banyak ahli hadits, termasuk para ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah.

Selain itu, pendapat ini juga diperkuat oleh Abu Tsaur, Al-Auza'i, dan mazhab Adz-Dzahiriyah. Mereka menggunakan dalil dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Aisyah radhiyallahu anha, yang berbunyi:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Artinya: "Barangsiapa meninggal dunia sedang ia masih mempunyai utang puasa, maka dibayarkan oleh walinya."

Hadits ini jelas menyatakan bahwa keluarga atau wali dari orang yang meninggal diwajibkan untuk mengganti puasa yang belum dilaksanakan oleh almarhum.

Riwayat ini juga sejalan dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu. Dalam riwayat tersebut, Ibnu Abbas menceritakan kisah seseorang yang mendatangi Rasulullah SAW untuk bertanya tentang hukum qadha puasa bagi orang yang telah meninggal dunia. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu anhu:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُتِي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى.

Artinya: "Ada seseorang yang datang kepada Nabi SAW seraya berkata, 'Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dunia sedang beliau mempunyai utang puasa satu bulan. Apakah aku harus membayarkan untuknya?' Beliau menjawab, 'Ya. Utang kepada Allah itu lebih berhak untuk dilunasi."

Selain itu, merangkum dari arsip detikHikmah, terdapat hadits lain yang mendukung anjuran bagi wali untuk melunasi utang puasa seseorang yang telah meninggal dunia. Dalam riwayat Ibnu Abbas r.a., disebutkan bahwa seorang wanita datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya,

يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرِ أَفَأَصُومُ عَنْهَا؟ قَالَ: أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ أَكَانَ يُؤَدِّي ذَلِكِ عَنْهَا؟ قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ: فَصُوْمِي عَنْ أُمِّكِ

Artinya: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan masih punya tanggungan utang puasa nadzar. Apakah aku boleh berpuasa atas namanya? Beliau bersabda, 'Bagaimana menurutmu jika ibumu itu masih punya tanggungan utang, bukankah kamu akan membayarnya?' Ia menjawab, 'Ya.' Beliau bersabda, 'Berpuasalah atas nama ibumu'." (HR. Ibnu Abu Syaibah).

2. Mengganti Puasa dengan Membayar Fidyah

Pendapat kedua mengenai qadha puasa untuk orang yang telah meninggal dunia berasal dari jumhur ulama fiqih, termasuk mazhab Asy-Syafi'iyah dalam qaul jadid dan mazhab Al-Hanabilah. Pandangan ini didasarkan pada pemahaman terhadap hadits yang secara tegas melarang seseorang menggantikan ibadah puasa orang lain. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW bersabda,

"Janganlah seseorang melaksanakan shalat untuk orang lain, dan jangan pula menggantikan puasanya. Akan tetapi, berilah makan (orang miskin) sebagai pengganti puasa, yaitu satu mud hinthah untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan." (HR. An-Nasa'i)

Dalam pandangan ini, jika seseorang meninggal dunia dan masih memiliki kewajiban puasa yang belum tertunaikan, maka penggantian ibadahnya dilakukan dengan membayar fidyah. Hal ini dilakukan dengan memberikan makanan kepada orang miskin sebanyak satu mud (0,85 kg) bahan pokok untuk setiap hari puasa yang tertinggal.

Hal tersebut juga diperkuat dengan sebuah riwayat yang berasal dari Tirmidzi yang disampaikan oleh Ibnu 'Umar yang menyatakan,

مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ

Artinya: "Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya." (HR Tirmidzi, dari Ibnu 'Umar)

Namun, di sisi lain, terdapat pandangan berbeda dari mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah. Mereka sepakat bahwa kewajiban membayar fidyah hanya berlaku jika almarhum sebelumnya telah meninggalkan wasiat untuk melunasi kewajiban puasanya. Wasiat ini menjadi syarat utama agar keluarga atau ahli waris dapat menggantikan tanggung jawab tersebut dengan membayar fidyah.

Waktu Qadha' Puasa yang Tepat

Baik mengqadha puasa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain yang sudah meninggal dapat dilakukan pada waktu tertentu. Berikut penjelasannya yang dikutip dari buku Seri Fiqih Kehidupan (5) karya Ahmad Sarwat.

1. Batas Waktu Qadha' Puasa

Para ulama sepakat bahwa puasa yang terlewat karena alasan tertentu (seperti sakit atau perjalanan) harus diganti setelah bulan Ramadan berakhir, dan batas waktunya adalah sampai bertemu dengan bulan Ramadan berikutnya. Ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 185:

وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ
Arab latin: wa man kāna marīḍan au 'alā safarin fa 'iddatum min ayyāmin ukhar(a)
Artinya: Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain.

2. Apakah Harus Berturut-Turut?

Jumhur ulama (mayoritas ulama) tidak mewajibkan puasa qadha' dilakukan secara berturut-turut. Mereka berpendapat bahwa tidak ada dalil yang mengharuskan puasa qadha' dilakukan tanpa jeda.

Namun, ada pendapat dari mazhab Zahiri dan Al-Hasan Al-Bashri yang mensyaratkan agar puasa qadha' dilakukan berturut-turut, berdasarkan pada hadis Aisyah yang mengatakan bahwa puasa qadha' dahulu memang diperintahkan untuk dilakukan berturut-turut.

Meski demikian, pendapat jumhur menyatakan bahwa perintah untuk berturut-turut ini sudah tidak berlaku lagi (di-mansukh). Namun, jika seseorang bisa melaksanakan puasa qadha' berturut-turut, beberapa ulama tetap menganjurkannya (mustahab), karena dianggap lebih baik.




(inf/lus)

Hide Ads