Belakangan, ada diksi baru terkait haji yang menyeruak ke ruang publik, haji wada' (perpisahan). Secara normatif dalam sejarah Islam, diksi itu merujuk pada haji terakhir yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw sepuluh tahun setelah hijrah ke Medinah. Beberapa bulan kemudian, Nabi wafat.
Namun haji wada' yang ramai di warga "plus 62" ini berbeda. Diksi itu merujuk pada fakta politik bahwa konon, tahun 2025 adalah terakhir kalinya Kementerian Agama (Kemenag) menjadi penyelenggara haji, dan bahwa Presiden RI, Prabowo Subianto, telah membentuk Badan Penyelenggara Haji (BPH), sebagai penerusnya.
Bagi saya, diksi dan narasi haji wada' ini terdengar aneh, apalagi jika terucap dari elit penyelenggara haji itu sendiri yang niscaya memahami konstitusi dan regulasi haji. Atau, jangan-jangan itu bentuk "nyungkun", istilah orang Sunda yang berarti memberikan persetujuan dan pujian, padahal maksud sebenarnya adalah sindiran karena terpaksa tak punya pilihan?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia adalah negara hukum, yang berarti bahwa segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada hukum yang berlaku. Dalam Peraturan Presiden RI Nomor 154 Tahun 2024 Tentang Badan Penyelenggara Haji sama sekali tidak ada klausul yang mengamanahkan bahwa Badan ini akan menggantikan Kemenag sebagai penyelenggara ibadah haji. Badan ini dibentuk untuk (Pasal 1 ayat 1) "...melaksanakan tugas pemberian dukungan penyelenggaraan haji".
Fakta konstitusionalnya, UU Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah masih berlaku dan mengamanahkan bahwa Kemenag, dalam hal ini Menteri Agama, adalah penanggungjawab tunggal penyelenggaraan ibadah haji.
Lalu, apa perlunya publik peduli? Perlu, karena ini bisa menjadi preseden buruk tata kelola negara, di mana perangkat negara bekerja dan berwacana tidak berdasar pada fakta konstitusi, melainkan fakta politik. Elit negara perlu diingatkan agar tidak kebablasan.
Akar Gaduh Haji
Anomali kebijakan haji itu nampaknya menjadi salah satu akar penyebab gaduh haji tahun 2025.
Kesan dualisme penyelenggara haji tahun ini tak bisa dihindari, apalagi Pasal 4 butir c Perpres di atas menyelipkan fungsi "pelaksanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi di bidang penyelenggaraan haji". Sungguh ambigu, ada institusi yang menjalankan dua fungsi sekaligus: menyelenggarakan dan mengawasi!
Tugas pengawasan haji sudah diatur dalam UU Haji, diamanahkan kepada pengawas internal melalui Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), dan pengawas eksternal, melalui DPR, DPD, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Akibat tumpang tindih regulasi ini, di lapangan, terjadi sahut-sahutan elit Kemenag, BPH, dan Timwas DPR terkait sejumlah isu haji 2025: tuduhan pungli pada jemaah haji safari wukuf, tuduhan petugas hanya "nébéng" berhaji, isu pemotongan kuota haji tahun 2026 oleh Saudi, hingga narasi adanya "Kartel Haji".
Sungguh tontonan yang tidak elok dinikmati. Presiden Prabowo sendiri terkesan membiarkan dua "anak institusinya" berkompetisi.
Di satu sisi, BPH, terutama melalui Wakil Kepala Badan Dahnil Anzar Simanjuntak, bersemangat menunjukkan semrawut haji 2025 oleh Kemenag. Di sisi lain, Kemenag melalui humasnya terus menyampaikan informasi sukses besar hajatan haji 2025, hingga mengutip Wakil Menteri Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi yang mengapresiasi sukses besar hajatan haji 2025 oleh Pemerintah Indonesia, melalui Kemenag.
Apa yang dilakukan BPH jadi seperti "menepuk air di dulang terpercik muka sendiri", karena logo BPH terpasang dalam berbagai atribut sebagai bagian dari pelaksana haji 2025. Bahkan, banyak petugas haji berasal dari BPH, termasuk dua pimpinan tertingginya tergabung sebagai wakil dan sekretaris Amirul Hajj. Berdasar undang-undang, mereka ikut bertanggung jawab atas sukses haji.
Apakah logo BPH, yg baru tahun ini ada dan disematkan sejajar dg logo Kemenag, pada baju petugas haji itu ingin meneguhkan BPH sebagai penyelenggara haji, atau pengawas haji?
Kembali ke Khittah
Sudahlah, saatnya kembali ke khittah!
Gaduh haji 2025 hanya fenomena di permukaan, akar masalahnya harus diselesaikan. UU Penyelenggaraan Haji menempati posisi tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Perpres tidak bisa menjadi landasan kita berbangsa dan bernegara, bila tidak sejalan dengan UU Haji.
Para perumus kebijakan, termasuk Komisi VIII DPR RI, bertanggung jawab memastikan agar tidak terjadi ambiguitas regulasi. Fungsi pengawasan BPH dalam Perpres 154 juga jelas perlu direvisi. Jika menghendaki perubahan dan transformasi pengelolaan ibadah haji, mulailah dengan segera menyelesaikan revisi UU Haji, kedepankan tujuan utama memberikan pembinaan, pelayanan, dan pelindungan terhadap jemaah.
Operasional haji 2026 sudah harus segera dimulai. Pihak Arab Saudi pun telah mengeluarkan sejumlah instruksi ketetapan (al-qararat al-tathwiriyyah) yang wajib dipatuhi.
Sebelum payung hukum baru pengelolaan ibadah haji disahkan, lengkap dengan perangkat regulasi turunannya, secara konstitusional Kemenag tetap bertanggung jawab sebagai pelaksana haji. BPH tidak perlu "kebelet" menggantikan di 2026, belum perlu menerbitkan 163 SOP haji, apalagi memberi janji manis untuk siap tanpa cela menjadi lebih baik dari institusi yang sudah 75 tahun berpengalaman mengelola haji.
Konon, Menteri Agama Maftuh Basuni pernah berpesan, "Mengelola haji itu tidak boleh sombong, tiap tahun selalu ada yang tak terduga". Penyelenggaraan haji tahun 2025 memberi pelajaran, kita harus selalu waspada menghadapi "kejutan-kejutan" di lapangan.
Saya meyakini, kembali ke khittah akan memperbaiki anomali kebijakan haji.
Oman Fathurahman
Penulis adalah Plt. Dirjen PHU 2020-2021, Guru Besar Filologi FAH UIN Jakarta
Artikel ini adalah kiriman pembaca detik.com. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis artikel. (Terimakasih - Redaksi)
(erd/erd)
Komentar Terbanyak
MUI Kecam Rencana Israel Ambil Alih Masjid Al Ibrahimi di Hebron
Mengoplos Beras Termasuk Dosa Besar & Harta Haram, Begini Penjelasan MUI
Acara Habib Rizieq di Pemalang Ricuh, 9 Orang Luka-1 Kritis