Kota Berusia 4.000 Tahun yang Ditemukan Tersembunyi di Oasis Arab

Kota Berusia 4.000 Tahun yang Ditemukan Tersembunyi di Oasis Arab

Indah Fitrah - detikHikmah
Kamis, 31 Okt 2024 20:45 WIB
Gambar yang diambil pada tanggal 12 Desember 2022 ini menunjukkan pemandangan udara benteng tua di oasis Khaybar di barat laut Arab Saudi. Khaybar, yang terkenal karena pertempuran sengit pada abad ke-7 antara Nabi Muhammad dan suku-suku Yahudi setempat, kini mengubah dirinya menjadi objek wisata kelas atas sejalan dengan upaya rebranding kerajaan. Terletak di sebuah oasis di tengah ladang vulkanik di utara Madinah, tempat ini dulunya merupakan rumah bagi ribuan orang Yahudi, yang dikalahkan dalam pertempuran yang menentukan pada abad ketujuh dengan pasukan Nabi saat Islam menyebar ke seluruh semenanjung Arab.
Kota Al-Natah, kota berusia 4.000 tahun yang ditemukan di Arab Saudi. Foto: MOHAMMAD QASIM/AFP
Jakarta -

Para arkeolog asal Prancis mengumumkan penemuan kota berbenteng yang tersembunyi di sebuah oasis di Saudi Arabia. Diperkirakan kota itu telah berusia 4.000 tahun.

Dilansir dari Arab News, Rabu (31/10/2024), sisa-sisa kota yang disebut dengan nama Al-Natah ini menjadi bukti sejarah yang menandai bagaimana kehidupan manusia di masa itu perlahan berubah dari nomaden (hidup berpindah-pindah) menjadi kehidupan perkotaan.

Diperkirakan, Al-Natah telah lama tersembunyi di balik tembok benteng Khaibar, yakni sebidang tanah hijau dan subur yang dikelilingi oleh gurun, yang letaknya di sebelah barat laut Jazirah Arab.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Benteng Khaibar sendiri dikenal sebagai lokasi Perang Khaibar, yaitu pertempuran sengit pada abad ke-7 antara Nabi Muhammad SAW dengan kaum Yahudi setempat.

Menurut penelitian yang dipimpin oleh arkeolog Prancis, Guillaume Charloux, yang diterbitkan di Jurnal PLOS One pada awal tahun 2024 lalu, tembok kuno yang ditemukan di situs tersebut memiliki panjang sekitar 14,5 kilometer.

ADVERTISEMENT

Dalam keterangannya kepada media Prancis, AFP (Agence France-Presse), tim peneliti Saudi-Prancis menjelaskan bahwa penemuan kota berbenteng tersebut merupakan bukti bahwa benteng-benteng ini dibangun di sekitar tempat tinggal manusia.

Diperkirakan kota tersebut (Al-Natah) merupakan hunian bagi setidaknya 500 penduduk yang dibangun sekitar tahun 2400 SM selama permulaan Zaman Perunggu.

"Kota tersebut kemudian ditinggalkan sekitar 1000 tahun kemudian, tidak ada seorang pun yang tahu mengapa," kata Charloux.

Diperkirakan bahwa pada saat Al-Natah dibangun, kota-kota di sekitarnya sedang berkembang pesat, yakni di wilayah Levant di sepanjang Laut Mediterania, dari lokasi yang saat ini adalah Suriah hingga Yordania.

Bagian barat laut Arab pada saat itu diperkirakan berupa gurun tandus yang dilintasi oleh para pengembara dan penggembala yang dipenuhi dengan situs pemakaman.

Penemuan terkait Al-Natah ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya. Yang mana sekitar 15 tahun lalu para arkeolog menemukan benteng yang berasal dari Zaman Perunggu di oasis Tayma, sebelah utara Khaibar.

Penemuan benteng di oasis Tayma ini merupakan penemuan pertama yang menjadi cikal bakal penelusuran para arkeolog terhadap oasis-oasis di sekitarnya, hingga kemudian ditemukan Al-Natah.

Menurut keterangan Charlox, batuan vulkanik hitam yang disebut basal menutupi dinding Al-Natah dengan sangat baik sehingga situs kota ini terlindungi dari penggalian ilegal.

Berdasarkan penelitian terhadap sisa-sisa fondasi bangunan kota berbenteng tersebut, disinyalir bahwa fondasi tersebut cukup kuat untuk menopang rumah dengan satu atau dua lantai.

Walaupun masih banyak hal yang perlu diteliti dari peninggalan tersebut, namun temuan awal mereka menggambarkan bahwa Al-Natah merupakan kota seluas 2,6 hektar dengan sekitar 50 rumah yang bertengger di atas bukit, dilengkapi dengan temboknya sendiri.

Selain itu, ditemukan pula sejumlah makam yang di dalamnya terdapat senjata logam seperti kapak dan belati serta batu-bati seperti batu akik. Penemuan ini menunjukkan bahwa masyarakat yang mendiami kota tersebut relatif memiliki peradaban yang sudah maju dalam waktu yang lama.

Adapun potongan-potongan tembikar yang ditemukan di situs tersebut menunjukkan kondisi masyarakatnya yang relatif egaliter. Hal ini terlihat dari keramik yang mereka gunakan yang sangat cantik tapi juga sangat sederhana.

Ukuran benteng - yang tingginya bisa mencapai sekitar lima meter (16 kaki) - menunjukkan bahwa Al-Natah adalah tempat kedudukan semacam otoritas lokal yang kuat.

Penemuan-penemuan ini mengungkapkan proses "urbanisme lambat" selama transisi antara kehidupan nomaden di desa menjadi kehidupan yang lebih menetap di kota.

Oasis berbenteng tersebut bisa saja saling terhubung di daerah yang sebagian besar masih dihuni oleh kelompok nomaden pastoral.

Perdagangan di antara mereka bahkan bisa saja menjadi dasar bagi "jalur dupa" yang memperdagangkan rempah-rempah, kemenyan, dan mur dari Arabia bagian selatan ke Mediterania.

Meskipun Al-Natah merupakan kota yang masih terbilang kecil dibandingkan dengan kota-kota di Mesopotamia atau Mesir pada masa itu.

"Namun, Al-Natah menunjukkan bahwa di hamparan gurun yang luas ini, tampaknya ada jalur urbanisasi lain selain kota-kota di Mesopotamia atau Mesir, yang gaya hidupnya lebih sederhana, jauh lebih lambat, dan cukup spesifik di wilayah barat laut Arabia," kata Charloux.




(inf/lus)

Hide Ads