Duka di Gaza, Saat Jenazah Hanya 'Diantar' Sehelai Kain & Sedikit Orang

Duka di Gaza, Saat Jenazah Hanya 'Diantar' Sehelai Kain & Sedikit Orang

Rahma Harbani - detikHikmah
Selasa, 14 Nov 2023 20:43 WIB
Wounded Palestinians Ahli Arab hospital at the al-Shifa hospital, following Israeli airstrikes, in Gaza City, central Gaza Strip, Tuesday, Oct. 17, 2023. (AP Photo/Abed Khaled)
Potret jenazah di Gaza korban serangan bom Israel. (Foto: AP/Abed Khaled)
Jakarta -

Ratusan warga Palestina terbunuh setiap hari dan malamnya sejak gempuran Israel yang memanas pada 7 Oktober 2023. Pasalnya, rumah sakit setempat bahkan sudah kewalahan dengan jumlah korban, ditambah fasilitas rumah sakit yang tidak memadai imbas blokade total oleh Israel.

Listrik, air bersih, bahan bakar, hingga pasokan medis atau perawatan yang bisa menyelamatkan nyawa pun nihil. Setidaknya 15 rumah sakit dan pusat kesehatan terpaksa berhenti beroperasi, sehingga pasien harus dipindahkan ke rumah sakit lain yang sudah penuh sesak.

Kantor berita Palestina (WAFA) melaporkan, per Senin (13/11/2023), jumlah warga Palestina di Jalur Gaza yang terbunuh dalam serangan Israel melonjak menjadi 11.360 jiwa dengan korban luka mencapai 28.200 orang sejak 7 Oktober. Di antara korban tewas tersebut, tercatat sebanyak 4.609 anak-anak, 3.100 wanita, dan 678 lansia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Banyaknya korban dalam sehari tersebut membuat masyarakat sekitar juga kewalahan menggelar kepengurusan jenazah dengan normal. Salah seorang warga Deir el-Balah, Jalur Gaza, Mukhtar Al Hor bercerita bahwa warga Gaza sebetulnya memiliki ritual pemakaman tersendiri sebelum memanasnya gempuran Israel belakangan ini.

Lelaki berusia 57 tahun ini mengatakan, biasanya ada puluhan bahkan ratusan orang yang berbondong-bondong mengantarkan satu jemaah ke pemakaman. Namun, semakin banyak korban yang berguguran, semakin sedikit pula orang-orang yang mengurus jenazah tersebut.

ADVERTISEMENT

"Sekarang, hanya ada segelintir orang yang bisa mendoakan orang yang mereka cintai," katanya kepada Aljazeera.

Mukhtar mengatakan, belasan jenazah telah dikeluarkan dari bawah reruntuhan kamp pengungsi Nuseirat. Namun, beberapa di antaranya merupakan bagian tubuh yang belum dapat diidentifikasi.

"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menguburkan keluarga sendiri di kuburan massal. Ditambah lagi, mereka tidak melakukan upacara pemakaman seperti yang biasa kami lakukan pada saat-saat biasa," ujarnya.

Bukan tanpa alasan, dikuburkan di kuburan massal sebagai imbas dari penuhnya ruang pemakaman di wilayah Deir Al Balah. Walikota setempat, Diab al-Jaru, menyebut bahwa korban yang berjatuhan di wilayahnya sendiri sudah menyentuh angka ratusan.

"Kami kehabisan tanah makam. Ruangan pemakaman yang sudah penuh karena sebelum perang kami menguburkan dua hingga tiga orang dari keluarga yang sama dalam satu kuburan," tuturnya.

Untuk itu, al-Jaru mengatakan, kuburan massal menjadi opsi terakhir dari pemakaman di wilayahnya. Pemakaman di kuburan massal biasanya hanya dipisahkan berdasarkan jenis kelamin.

"Jumat malam saja, 150 orang terbunuh. Kami tidak punya pilihan selain mengubur semuanya (dalam satu tempat)," kata al-Jaru.

Kondisi normal, warga muslim Palestina biasanya membawa jenazah yang sudah dimandikan ke rumah keluarga. Saat itulah, momen anggota keluarga perempuan mengucapkan selamat tinggal yang terakhir kalinya pada jenazah.

Sementara anggota keluarga pria mengusung jenazah ke masjid agar didoakan sekaligus menyelenggarakan salat jenazah. Setelahnya, jenazah barulah diangkut dengan kendaraan atau jemaah salat jenazah ke pemakaman.

Abu Ammar, petugas yang memandikan jenazah sesuai ajaran Islam di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa di Deir el-Balah, turut bercerita. Ia mengatakan menerima ratusan jenazah setiap harinya sejak serangan dimulai hampir beberapa minggu lalu.

Kondisi saat ini membuat salat jenazah hanya dilakukan di halaman rumah sakit setelah jenazah dimandikan. Gelaran salat jenazah pun hanya dihadiri oleh segelintir orang yang tersisa di sana.

Abu Ammar juga mengatakan, mereka semua akan berakhir dimakamkan di kuburan massal tanpa nisan, bukan di kuburan tunggal dengan marmer nisan seperti biasanya.

Biasanya, kata Abu Ammar, jenazah orang dewasa akan dibungkus dengan tiga kain kafan yang berbeda. Mereka juga memandikan jenazah dua kali dengan air dan sabun, lalu ketiga kalinya menggunakan kapur barus.

Tetapi, sejak memanasnya agresi Israel pada 7 Oktober 2023, mereka hanya bisa menghapus noda darah di wajah jenazah dan segera mengkafaninya hanya dengan sehelai kain kafan.

"Namun dalam kondisi saat ini, kami tidak mempunyai waktu atau sarana untuk melakukan hal tersebut. Sebaliknya, kami segera menyelimuti mereka dalam keadaan utuh karena keterbatasan yang kami hadapi dan mencoba untuk menghapus darah dari wajah mereka," ujarnya.

Abu Ammar menjelaskan, bagian tubuh yang robek dibungkus terlebih dahulu dengan plastik penutup kemudian ditutup dengan kain kafan agar tidak ternoda. Sebab jumlahnya yang banyak, pihak administrasi rumah sakit pun terpaksa membaringkan beberapa jenazah di luar halaman.

"Agresi ini telah melewati batas dan melanggar hukum hak asasi manusia internasional. Dunia harus menghentikan perang biadab melawan kita," pungkasnya.




(rah/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads