Cerita Warga Palestina-Muslim di Negara Barat yang Terdampak Islamofobia

Cerita Warga Palestina-Muslim di Negara Barat yang Terdampak Islamofobia

Rahma Harbani - detikHikmah
Jumat, 10 Nov 2023 14:00 WIB
People walk amongst US national flags erected by students and staff from Pepperdine University to honor the victims of the September 11, 2001 attacks in New York, at their campus in Malibu, California on September 10, 2015. The students placed some 3,000 flags in the ground in tribute to the nearly 3,000 victims lost in the attacks almost 14 years ago.      AFP PHOTO / MARK RALSTON / AFP / MARK RALSTON
Ilustrasi Amerika Serikat. (Foto: AFP PHOTO/MARK RALSTON)
Jakarta -

Serangan Islamofobia masih terus menyasar pada warga Palestina maupun muslim di negara-negara Barat. Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) pernah mencatat, adanya peningkatan hingga 216 persen laporan Islamofobia sejak memanasnya pendudukan Israel di Gaza pada 7 Oktober 2023.

Serangan Islamofobia ini tidak luput dari pengalaman mahasiswa Palestina dan muslim di George Washington (GW) University, Amerika Serikat (AS). Para korban tersebut melaporkan pengalaman tidak menyenangkan itu ke Kantor Komunitas Keberagaman, Kesetaraan dan Keterlibatan (ODECE) di kampus.

Laporan tersebut di antaranya empat kasus pencopotan jilbab secara paksa bagi mahasiswi muslim di sana hingga diludahi dan diprovokasi oleh mahasiswa lainnya. Bahkan tuduhan pembunuh pun dilayangkan kepada mereka hingga sebagian dari mereka merasa ketakutan untuk menunjukkan identitas diri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mina Ali, mahasiswi Palestina jurusan Kesehatan Masyarakat dan Psikologi, bercerita bahwa sebelum memanasnya serangan Israel pada 7 Oktober, dia masih bisa dengan santai mengenakan kaus dengan lambang negara Palestina. Namun, kondisi saat ini membuatnya kesulitan merasa aman dalam menunjukkan identitas kewarganegaraannya.

"Orang-orang akan memandangku dengan berbeda," kata Ali kepada media kampus GW University, The GW Hatchet.

ADVERTISEMENT

Ali juga menambahkan, keluarganya bahkan berpesan padanya agar merahasiakan identitas kewarganegaraannya pada orang lain. Namun, wanita Palestina ini merasa tidak adil jika ia memilih diam sementara warga Palestina di negaranya terus mengalami penindasan.

"Sampai pada titik di mana aku merasa tidak adil jika aku sebagai mahasiswa di komunitas ini harus menyembunyikan identitas dan takut dikucilkan karena pandanganku, yang tidak radikal tetapi dibuat terkesan radikal di sini," bebernya.

Lain lagi dialami oleh Abbas, mahasiswa muslim di GW University. Ia bercerita, saat itu dirinya dan teman-temannya tengah berjalan-jalan biasa di kampus.

Tidak sengaja, mereka melihat kumpulan mahasiswa tengah meneriaki seorang mahasiswa muslim yang didampingi dengan petugas kepolisian. Diketahui, ternyata kumpulan mahasiswa tersebut menuduh mahasiswa muslim itu membunuh anggota keluarga mereka di Israel.

"(Mereka) bertanya kepadanya bagaimana rasanya menjadi 'pembunuh.' Rasanya seperti... kami bahkan bukan orang Palestina. Kami benar-benar hanya warga muslim," kata Abbas.

Mahasiswa baru jurusan Ilmu Politik, Hamzah Moustafa, juga tidak lolos dari serangan Islamofobia di lingkungan kampusnya. Saat itu, dia membeberkan tengah berjalan sendirian di persimpangan jalan kampus.

Secara tiba-tiba, seorang mahasiswa kulit putih memelototinya dan meludahi kakinya. Insiden mendadak tersebut membuat Moustafa melaporkan pada pihak kampus, namun ia mengatakan tidak ingin dihubungi para pejabat kampus karena merasa mereka tidak akan menyelesaikan masalahnya.

"Aku tidak merasa aman atau diterima. Apalagi sebagai mahasiswa tahun pertama di GW, rasanya tidak aman. Aku tidak merasa diterima, disambut, atau semacamnya," kata Moustafa.

Tidak hanya di AS, serangan Islamofobia juga dialami muslim di negara-negara Barat. Sekolah tata bahasa di London, Inggris menerima tulisan grafiti Islamofobia di toilet mereka yang berbunyi, "Kematian bagi Gaza, kematian bagi orang-orang Arab, kematian bagi umat Islam," lapor The Guardian.

Seorang imam di Sydney, Australia, Syaikh Wesam Charkawi, juga mengakui adanya peningkatan yang signifikan dalam insiden Islamofobia, termasuk ancaman serangan fisik, sejak 7 Oktober. Ia mengatakan, seorang pria diancam akan ditembak dari belakang hingga korban takut untuk salat di masjid setempat.

Per 4 November 2023, CAIR mencatat, laporan insiden anti-Muslim dan anti-Arab di AS yang diterimanya mencapai hingga 1.283 laporan. Pihaknya menerima pengaduan dari berbagai kalangan termasuk mahasiswa, dokter, pengunjuk rasa, hingga petugas masjid.

Angka tersebut dinilai sebagai peningkatan drastis dibandingkan tahun sebelumnya. Selama rentang waktu 29 hari pada tahun 2022, CAIR rata-rata hanya menerima 406 pengaduan.

"Untuk laporan bias (terjadi) peningkatan 216 persen dibandingkan tahun sebelumnya," demikian bunyi pernyataannya.




(rah/erd)
Duka untuk Palestina

Duka untuk Palestina

73 konten
Israel masih terus melakukan serangan di Gaza, Palestina. Total sudah 26 hari Israel menggempur wilayah itu tanpa henti. Sejak 7 Oktober hingga Selasa kemarin, Kementerian Kesehatan Gaza menyebut 8.525 orang tewas. Sebanyak 3.500 adalah anak-anak.

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads