Pengertian Waris dalam Islam dan Ketahui Dalil hingga Dasar Hukumnya

Pengertian Waris dalam Islam dan Ketahui Dalil hingga Dasar Hukumnya

Azkia Nurfajrina - detikHikmah
Rabu, 08 Feb 2023 08:00 WIB
Hand holding magnifying glass and looking at house model, house selection, real estate concept.
Ilustrasi warisan yang diatur dalam hukum Islam Foto: Getty Images/iStockphoto/sommart
Jakarta -

Harta yang ditinggalkan orang wafat sering kali menimbulkan permasalahan bagi pewarisnya. Untuk itu, Islam menetapkan aturan tentang warisan dengan rapi dan adil tanpa mengabaikan hak seorang pun dalam pembahasan ilmu waris. Lantas, apa arti sebenarnya dari waris?

Waris secara bahasa dalam buku Pembagian Waris Menurut Islam oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni, berasal dari kata al-miirats, berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Makna waris jika dilihat dari pengertian bahasa ini tak sebatas pada hal berkaitan dengan harta benda, tetapi juga mencakup nonharta benda, seperti keimanan, sifat, serta kecerdasan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara para ulama mendefinisikan waris, yakni berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syariat.

Adapun waris dalam KBBI, adalah orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.

ADVERTISEMENT

Mengutip buku Hukum Kewarisan Islam oleh Amir Syarifuddin, terdapat beberapa istilah yang bisa dipakai untuk menyebutkan hukum mengenai waris dalam Islam, yaitu Faraid, Fikih Mawaris, dan Hukm al-Waris. Untuk penyebutan perihal waris menurut hukum di Indonesia, digunakan pula berbagai istilah, seperti waris, warisan, pusaka, serta hukum kewarisan.

Dalil dan Dasar Hukum Waris dalam Islam

Allah SWT membahas terkait waris dalam banyak ayat Al-Qur'an, di antaranya dalam Surat An-Nisa ayat 7:


لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا

Latin: Lir-rijāli naṣībum mimmā tarakal-wālidāni wal-aqrabụna wa lin-nisā`i naṣībum mimmā tarakal-wālidāni wal-aqrabụna mimmā qalla min-hu au kaṡur, naṣībam mafrụḍā

Artinya: "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan."

Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah dalam buku Hukum Waris mengemukakan bila warisan dalam pandangan Islam begitu penting. Lantaran dari sejumlah dalil Al-Qur'an termasuk ayat di atas, menyatakan jika warisan merupakan suatu ketetapan dari Allah SWT.

Demikian hukum waris adalah wajib. Syariat tidak menyerahkan begitu saja mengenai warisan kepada pilihan serta kebebasan seseorang. Bagi mereka yang mengamalkan ilmu waris dalam pembagian harta peninggalan, maka Dia akan menunjukkan kebenaran.

Rukun-rukun Waris

Perihal waris terdapat unsur-unsur penting yang mesti ada dan dikenal dengan rukun. Menukil buku Hukum Waris, berikut tiga rukun dalam waris:

Wafatnya pewaris

Yakni orang yang benar telah meninggalkan dunia dan disaksikan kematiannya. Dan juga bisa orang yang hilang atau melarikan diri, kemudian statusnya dinyatakan telah meninggal oleh pengadilan.

Kedua contoh tersebut merupakan pewaris yang dapat membagikan harta kekayaannya kepada ahli waris mereka.

Ahli waris yang masih hidup

Hidup di sini mengacu kepada kehidupan seseorang yang dapat dilihat, dirasakan, dan keberadaannya ada di tengah-tengah masyarakat. Adapun anak dalam kandungan sang ibu, juga bisa dikatakan dengan hidup. Sehingga janin yang masih dalam perut berhak menerima warisan dari pewarisnya.

Adapun yang termasuk ahli waris dalam pembahasan kewarisan Islam ada sejumlah pihak yang disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an:

Anak-anak (laki-laki maupun perempuan). Baik si pewaris memiliki ahli waris yakni anak laki-laki dan perempuan secara bersamaan, atau anak perempuan saja atau anak laki-laki saja.

Kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu.

Sepasang suami-istri.

Saudara laki-laki dan saudara perempuan si pewaris, baik saudara kandung atau saudara seayah. Dapat terdiri atas saudara laki-laki dan perempuan secara bersamaan, bisa hanya memiliki saudara perempuan, dapat pula hanya memiliki saudara laki-laki.

Saudara seibu, dapat terdiri atas laki-laki saja, perempuan saja, atau secara bersamaan, bisa hanya seorang atau lebih dari seorang.

Harta peninggalan

Seperti semua jenis harta yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, bangunan, hewan ternak, tanah, dan macam lainnya. Namun ada juga yang termasuk harta peninggalan, yakni utang dan wasiat.

Keduanya disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, dan menandakan bahwa utang dan wasiat harus didahulukan sebelum pembagian harta warisan.

Lebih lanjut, Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah berpendapat bila pewaris yang telah wafat meninggalkan harta sementara ia punya utang, maka hendaklah dilunaskan terlebih dahulu.

Demikian dengan wasiat. Jika pewaris punya harta dan meninggalkan wasiat, maka mesti ditunaikan dengan ketentuan batas maksimal dari wasiat menurut ilmu waris, yaitu sepertiga dari harta kekayaannya.




(dvs/lus)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads