Beberapa waktu kebelakang, publik dihebohkan dengan berbagai kasus kekerasan anak baik fisik maupun seksual yang mencuat ke media sosial. Kasus ini termasuk kekerasan fisik yang dilakukan pengasuh hingga pelecehan seksual yang dilakukan oleh ayah kandung.
Hal ini tentu menjadi sebuah pertanyaan besar. Karena kerabat dekat bahkan orang tua kandung seharusnya menjadi tempat aman bagi anak, bukan sebagai pelaku atas pelanggaran perlindungan anak.
Menjawab hal ini, Dr Ike Herdiana MPsi Psikolog sekaligus Dosen Ahli Psikologi Sosial Universitas Airlangga (Unair) menyatakan ada banyak faktor mengapa kerabat dekat bisa menjadi pelaku.
Beberapa di antaranya karena kemiskinan, kurang wawasan, masa lalu yang buruk hingga lingkungan masyarakat yang kerap kali menormalisasi kekerasan berkedok pendisiplinan.
"Masyarakat kerap menormalisasi kekerasan orang tua terhadap anak berkedok pendisiplinan, dan lainnya," tutur Ike dikutip dari rilis di laman resmi Unair, Jumat (5/4/2024).
Perbuatan Orang Dewasa Berdampak pada Anak
Lebih lanjut, Ike menjelaskan segala perbuatan orang dewasa akan meninggalkan jejak dan bayang-bayang bagi anak. Hal ini termasuk bila orang tua selalu berlaku baik selama masa emas dan tumbuh kembang anak, pengalaman baik pula akan membersamai anak hingga dewasa.
Sebaliknya, jika pengalaman buruk yang dirasakan anak, ini bisa menghantuinya selama masa tumbuh kembang. Terlebih jika ia menjadi korban kekerasan dan pelecehan.
Risiko yang akan muncul baginya sangat menakutkan dari hadirnya rasa bersalah, malu, tidak berdaya hingga sulit melakukan aktivitas yang sebelumnya mereka sukai. Karena takut jika melakukan sesuatu bisa membuat orang lain kesal meskipun itu bukan pelaku.
Ike menyatakan pada beberapa kasus, pelaku kerap mengancam korban jika melapor pada orang lain. Akibatnya, anak memilih diam.
"Padahal, anak sebagai korban tidak seharusnya berada terus-terusan di dekat pelaku. Karena harus ada langkah penanganan dan pemulihan agar kejadian tidak terulang kembali," jelas Ike.
Untuk itu ada beberapa poin yang perlu dikenali oleh orang tua atau kerabat lainnya sebagai tanda jika anak mengalami tindak kekerasan atau pelecehan menurut Ike, yakni:
- Jejak fisik
- Anak kerap mimpi buruk, sulit tidur dan mengigau
- Tampak lebih murung padahal sebelumnya ceria
- Tiba-tiba menjadi pemberontak dan pemarah
- Takut dengan orang yang mirip dengan pelaku
- Takut dengan barang yang berhubungan dengan kejadian
- Melakukan tindakan yang sengaja membahayakan diri
Pencegahan dan Pemulihan Kekerasan pada Anak
Jika tindak kekerasan atau pelecehan terjadi pada anak, cara pertama yang perlu dilakukan adalah berjarak dari pelaku. Mendapat ruang aman dan nyaman adalah hak anak yang perlu dipenuhi.
Anak tetap perlu didampingi oleh keluarga yang dapat bertanggung jawab atas kondisi pasca kejadian. Ike juga menekankan bila pelaku harus diproses secara hukum.
"Intinya, anak harus dijauhkan dari pelaku, pendampingan psikologis tetap harus dilakukan, dan pelaku harus diproses secara hukum," ujarnya.
Untuk pencegahan lebih jauh agar kejadian kekerasan atau pelecehan tidak terjadi, orang tua perlu menciptakan suasana rumah yang sehat dan ramah anak.
Terutama membangun hubungan yang positif dan harmonis, mendukung kegiatan anak, dan memberikan pembelajaran untuk membangun awareness pada anak tentang hak mereka.
Namun bukan hanya anak, orang tua juga perlu terus belajar. Sebagai rumah pertama bagi anak, penting mengetahui pola mendidik anak yang disiplin tanpa kekerasan.
"Disiplinkan anak dengan penuh pertimbangan, jangan dalam keadaan kesal, periksa segala tindakan dan perkataan sudah baik atau belum, karena masalah dapat diselesaikan tanpa memukul atau membentak," pungkas Ike.
(det/faz)