Dalam sepekan terakhir, publik dihebohkan dengan serangkaian kejadian tawuran yang melibatkan pelajar di berbagai sekolah di Sukabumi. Dua video kekerasan yang viral di media sosial dan aplikasi perpesanan mengungkapkan betapa berbahayanya tren kekerasan ini.
Lebih dari sekadar aksi fisik, tawuran pelajar di Sukabumi semakin menjadi simbol dari perjuangan identitas bagi segelintir remaja yang merasa terpinggirkan.
Hal itu diungkap Tenaga Ahli Psikologi Perlindungan Anak dan Perempuan Dikdik Hardi mengungkap, tawuran bukan hanya sekadar perkelahian antar kelompok, melainkan manifestasi dari emosi yang bergejolak di kalangan remaja yang tengah berada pada fase krisis identitas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Remaja berada pada masa yang penuh dengan gejolak emosi, kurangnya kontrol terhadap perasaan, dan pencarian jati diri. Mereka sangat terpengaruh oleh kelompok sebaya sebagai cerminan identitas diri," ujar Dikdik saat dihubungi oleh detikJabar, Selasa (14/1/2025).
Bagi sebagian remaja, yang seringkali tidak menemukan ruang untuk berkembang di bidang akademik, olahraga, atau seni, perilaku agresif menjadi cara mereka menunjukkan eksistensinya.
"Ketika mereka merasa tidak memiliki kelebihan, mereka mencari pengakuan melalui kekerasan. Dalam pandangan mereka, keberanian untuk bertarung atau tawuran adalah bentuk prestasi yang setara dengan prestasi di bidang lain," kata Dikdik.
Namun, fenomena tawuran pelajar di Sukabumi tidak terjadi begitu saja. Menurut Dikdik, munculnya kekerasan secara bersamaan sangat mungkin dipicu oleh faktor eksternal, seperti provokasi dari alumni atau rivalitas antar kelompok sekolah.
"Pemicu ini bisa berasal dari perasaan dendam yang ditumbuhkan oleh generasi sebelumnya atau perasaan kebersamaan dalam kebencian terhadap kelompok lain. Ini menjadi landasan bagi kelompok pelajar untuk menunjukkan eksistensi mereka melalui perilaku yang destruktif," jelasnya.
Dampak lebih lanjut dari perilaku kekerasan ini adalah viralnya video tawuran di media sosial. Video yang beredar luas, kata Dikdik, justru memperburuk situasi.
"Ketika video kekerasan itu dipublikasikan di media sosial, itu bukan hanya memberikan kepuasan bagi pelaku, tetapi juga menjadi pemicu bagi kelompok remaja lain di daerah berbeda. Inilah yang menciptakan efek domino, di mana kekerasan menjadi sebuah tren di kalangan mereka," tambahnya.
Agar kejadian serupa tidak terulang, Dikdik mengusulkan, pendekatan yang lebih mendalam dan preventif.
"Merangkul kelompok peer group remaja dengan cara yang produktif sangat penting. Setiap remaja memiliki potensi, meskipun mereka merasa tidak punya kemampuan. Kegiatan yang membangun seperti olahraga, seni, atau akademik bisa menjadi saluran untuk mengekspresikan diri mereka, tanpa harus terjerumus pada kekerasan," ujarnya.
Peran aktif semua pihak juga diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi remaja.
"Orang tua, sekolah, masyarakat, pemerintah, dan penegak hukum perlu bersinergi untuk menciptakan ruang aman bagi remaja. Mengurangi pemicu kekerasan serta mengedukasi mereka tentang konsekuensi buruk dari tawuran adalah langkah penting dalam membentuk karakter remaja yang lebih baik," jelasnya.
Sebagai penutup, Dikdik berharap fenomena kekerasan ini bisa diminimalisir jika semua pihak bekerja sama untuk memberikan arahan yang tepat bagi remaja.
"Tawuran bukanlah jawaban untuk mencari eksistensi. Hanya dengan pendekatan yang tepat, kita bisa membantu mereka untuk menemukan identitas diri yang lebih positif," katanya.
(sya/mso)