SD YPPK Kanda di Kampung Yakonde, Kabupaten Jayapura, Papua termasuk dalam sekolah yang terdampak pandemi COVID-19. Selama pandemi pihak sekolah berusaha meningkatkan hilangnya kemampuan literasi siswa.
Sekolah yang berdiri sejak 1981 itu memiliki 223 siswa. Dibantu dengan 6 guru, Kepala Sekolah SD YPPPK Kanda Riya Sokoy berusaha menggerakkan pembelajaran meski terhalang pandemi.
Pada Webinar Mengejar Ketertinggalan Belajar pada Anak Pasca Pandemi COVID-19 disiarkan melalui Youtube AJI Indonesia, Selasa (23/5), Riya menceritakan awalnya para siswa sangat senang dengan pembelajaran di rumah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya saja makin lama, siswa semakin bosan. Rasa takut juga muncul karena berita tentang pandemi saat itu.
"Karena berita di sana sini, nonton di TV, radio. Melihat di lingkungan sekitar. Bahkan keluarganya pun meninggal karena COVID," cerita Riya.
Melihat kondisi ini, orang tua akhirnya meminta guru untuk mengadakan pembelajaran tatap muka
"Orang tua akhirnya ketemu kami, berbicara 'Bu, bagaimana supaya kita tatap muka saja,' karena orang tua sudah tidak bisa lagi. Orang tua bilang anak-anak semakin hari dari bisa jadi tidak bisa [belajar di rumah]," tuturnya.
Akhirnya pada semester 2 SD YPPK Yanda kembali mengadakan pembelajaran tatap muka.
Siswa Masuk Sesuai Rombel
Riya menuturkan, pada semester 2 siswa mulai menjalankan pembelajaran tatap muka meski tidak secara penuh. Siswa dibagi menjadi 2 rombel, yakni rombel pertama untuk absen 1 hingga 10 dan rombel kedua untuk absen 11 sampai 20.
Siswa mulai belajar pukul 7 pagi hingga 8 pagi. Pembelajaran hanya berlangsung selama 1 jam dengan jarak antar bangku siswa.
"Orang tua antar. Pulang satu jam belajar kami SMS orang tua jemput. [Absen] 11 sampai 20 mereka datang. Jadi selalu begitu selama semester 2," ujar Riya.
Buat Kelas Khusus
Kelas khusus juga dibuat untuk mengatasi ketertinggalan membaca siswa. Bagi siswa yang belum bisa membaca, disediakan kelas khusus di perpustakaan.
"Bersama dengan guru kelas, guru kelas mencari anak yang tidak bisa baca. Mereka kirim, akhirnya kita buatkan kelas khusus," jelas Riya.
Anak-anak yang kemampuan membacanya kurang dibimbing-bimbing secara rutin. Riya menambahkan, siswa dari sekolah mereka memang berasal dari orang tua yang tidak menempuh pendidikan.
"Anak-anak orang tuanya kebanyakan latar belakang pendidikannya tidak ada," ujarnya.
Dilema Saat Kenaikan Kelas
Tak sampai di situ, Riya dan guru-guru lain merasakan dilema saat kenaikan kelas. Karena selama semester 1, tugas-tugas dikerjakan oleh orang tua bukan oleh siswa secara mandiri.
"Semester 1 bukan mereka yang kerja tapi orang tuanya yang kerja, karena nilainya bagus-bagus," jelasnya.
Namun setelah melakukan tatap muka di semester 2, para guru yakin dengan kemampuan siswa. Kelompok siswa bukan pembaca yang tadinya 66,7% berkurang menjadi 37,5%.
(nir/pal)