Pemanasan global telah menjadi perhatian dunia. Hal ini diakibatkan salah satunya oleh perubahan iklim karena manusia. Lantas wilayah mana yang paling cepat mengalami pemanasan?
Menurut laporan Weather, yang dikutip Senin (29/4/2024), Eropa adalah benua yang mengalami pemanasan tercepat di dunia. Diketahui, suhunya meningkat hingga dua kali lipat rata-rata global.
Dalam lima tahun terakhir, suhu di Eropa mencapai 2,3 derajat Celcius di atas suhu pra-industri, lebih tinggi 1,3 derajat Celcius dari rata-rata global. Angka ini melebihi sedikit dari target pada perjanjian iklim Paris tahun 2015 tentang pembatasan pemanasan global.
Organisasi Meteorologi Dunia PBB dan Copernicus, memperingatkan konsekuensinya terhadap kesehatan manusia, pencairan gletser dan aktivitas ekonomi.
"Eropa kembali mengalami peningkatan suhu dan iklim ekstrim selama satu tahun ini, termasuk tekanan panas dengan suhu tertinggi, kebakaran hutan, gelombang panas, hilangnya gletser, dan kurangnya hujan salju," ucap Elisabeth Hamdouch, Wakil Kepala Unit Copernicus.
Mengapa Eropa Menjadi Benua dengan Pemanasan Tercepat?
Dikutip dari NPR, alasan Eropa memanas lebih cepat karena letaknya yang berdekatan dengan Arktik dan wilayah kutub lebih merasakan dampak perubahan iklimnya. Alasan lainnya adalah arus laut dan atmosfer di sekitar Eropa umumnya lebih hangat dibanding arus laut dan atmosfer di wilayah lain di dunia.
Dalam artian lain, semakin panas lautan dan atmosfer, Eropa akan mendapat pengaruh yang semakin besar pula.
Sejauh ini. benua Eropa telah menghasilkan 43% listriknya dari sumber daya terbarukan tahun lalu, naik sebesar 7% dari tahun sebelumnya. Energi yang dihasilkan Eropa lebih banyak berasal dari energi terbarukan dibandingkan bahan bakar fosil selama dua tahun berturut.
Laporan dari kedua organisasi terkemuka ini melengkapi laporan iklim global WMO yang diterbitkan setiap tahun. Tahun ini disertai 'peringatan merah' yang menunjukkan bahwa dunia tidak melakukan cukup upaya untuk melawan dampak pemanasan global.
Dampak Pemanasan Global
Copernicus melaporkan adanya rekor suhu bulanan selama 10 bulan berturut. Pada 2023, Eropa mencapai tingkat tahunan tertingginya. Laporan ini berfokus pada dampak suhu tinggi terhadap kesehatan manusia.
Tercatat angka kematian di seluruh benua yang meningkat akibat panas ini. Lebih dari 150 nyawa melayang tahun lalu akibat banjir, kebakaran hutan dan badai.
Puncaknya terjadi pada bulan Juli 2023. Gelombang panas hebat meliputi 41% wilayah Eropa bagian selatan dengan suhu yang tetap tinggi dari siang hingga malam, mengakibatkan kondisi tekanan panas, sebagaimana dilansir dari Courthouse News.
Di sektor ekonomi, diketahui kerugian akibat cuaca dan iklim pada tahun 2023 diperkirakan mencapai lebih dari USD 14,3 miliar.
"Ratusan ribu orang terdampak peristiwa iklim ekstrem ini di tahun 2023. Peristiwa ini mengakibatkan kerugian besar di tingkat benua, diperkirakan setidaknya mencapai puluhan miliar euro," ujar Direktur Copernicus, Carlo Buontempo.
Pada laporan itu, cuaca ekstrem memicu gelombang panas, kebakaran hutan, kekeringan dan banjir. Temperatur tinggi yang disebabkan oleh cuaca ekstrim mengakibatkan hilangnya es gletser di benua Eropa, termasuk di Pegunungan Alpen yang telah hilang sekitar 10% sisa gletsernya selama dua tahun terakhir.
Kabar baiknya, laporan juga menunjukkan bahwa Eropa semakin beralih ke tenaga surya dan angin untuk menghasilkan listrik.
Tahun 2023 menjadi tahun kedua berturut benua Eropa menghasilkan lebih banyak listrik dari energi terbarukan dibandingkan bahan bakar fosil. Oleh karena itu, akan ada lebih sedikit emisi gas rumah kaca sehingga pemanasan melambat dalam jangka panjang.
(faz/faz)