Benua Ini Mengalami Pemanasan Suhu Tercepat di Dunia, Apa Alasannya?

ADVERTISEMENT

Benua Ini Mengalami Pemanasan Suhu Tercepat di Dunia, Apa Alasannya?

Kholida Qothrunnada - detikEdu
Rabu, 30 Apr 2025 13:30 WIB
Ilustrasi peta benua Eropa
Ilustrasi peta dunia. Foto: Pexels/Aliaksei Lepik
Jakarta -

Pemanasan global (global warming) adalah kondisi di mana ada peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi yang terjadi secara bertahap. Meningkatnya suhu rata-rata Bumi dari efek gas rumah kaca tersebut, memicu berbagai perubahan iklim ekstrem.

Hal ini merupakan masalah dan tantangan besar yang dihadapi umat manusia saat ini. Ternyata, ada suatu tempat yang mengalami pemanasan tercepat di dunia.

Dikutip dari laporan Weather tahun 2024 lalu, benua yang mengalami pemanasan tercepat di dunia adalah Eropa. Di sana, suhu bisa meningkat dua kali lipat rata-rata global.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alasan Eropa Menjadi Benua dengan Pemanasan Tercepat di Dunia

Menurut laporan Weather tersebut, suhu di Eropa mencapai 2,3 Β°C di atas suhu pra-industri selama lima tahun terakhir. Di mana, suhu tersebut lebih tinggi 1,3 Β°C dari rata-rata global.

Dilansir dari NPR, Eropa lebih cepat memanas karena letaknya yang berdekatan dengan Arktik dan wilayah kutub lebih merasakan dampak perubahan iklimnya.

ADVERTISEMENT

Selain itu, arus laut dan atmosfer di sekitar Eropa juga umumnya lebih hangat dibanding arus laut dan atmosfer di wilayah lain di dunia. Dalam hal ini, semakin panas lautan dan atmosfer tentu benua Eropa akan mendapat pengaruh yang semakin besar.

Tercatat, Benua Eropa telah menghasilkan 43% listriknya dari sumber daya terbarukan tahun lalu. Jumlah tersebut naik sebesar 7% dari tahun sebelumnya.

Energi terbarukan menjadi energi yang banyak dihasilkan benua tersebut, dibandingkan bahan bakar fosil selama dua tahun berturut.

Selain itu, suhu Eropa tersebut juga lebih tinggi dari target pada perjanjian iklim Paris tahun 2015 mengenai pembatasan pemanasan global.

Dampak Pemanasan Global

Organisasi Meteorologi Dunia PBB dan Copernicus telah memperingatkan konsekuensinya terhadap kesehatan manusia, pencairan gletser, hingga aktivitas ekonomi.

"Eropa kembali mengalami peningkatan suhu dan iklim ekstrim selama satu tahun ini, termasuk tekanan panas dengan suhu tertinggi, kebakaran hutan, gelombang panas, hilangnya gletser, dan kurangnya hujan salju," ujar Hamdouch Wakil Kepala Unit Copernicus.

Pada laporan 2023, Eropa mencapai tingkat tahunan tertingginya. Laporan ini berfokus pada dampak suhu tinggi terhadap kesehatan manusia.

Akibat meningkatnya panas, tercatat angka kematian di seluruh benua yang meningkat. Lebih dari 150 nyawa tewas pada tahun itu akibat banjir, kebakaran hutan, dan badai.

Puncaknya ada di bulan Juli 2023. Di mana, ada gelombang panas hebat meliputi 41% wilayah Eropa bagian selatan dengan suhu yang tetap tinggi dari siang hingga malam, mengakibatkan kondisi tekanan panas, sebagaimana dilansir Courthouse News.

Di sektor ekonomi, diketahui kerugian akibat cuaca dan iklim pada tahun 2023 diperkirakan mencapai lebih dari USD 14,3 miliar.

"Ratusan ribu orang terdampak peristiwa iklim ekstrem ini di tahun 2023. Peristiwa ini mengakibatkan kerugian besar di tingkat benua, diperkirakan setidaknya mencapai puluhan miliar euro," ucap Direktur Copernicus, Carlo Buontempo.

Pada laporan itu, cuaca ekstrem memicu gelombang panas, kebakaran hutan, kekeringan dan banjir. Temperatur tinggi akibat cuaca ekstrim mengakibatkan hilangnya es gletser di benua Eropa, termasuk di Pegunungan Alpen yang telah hilang sekitar 10% sisa gletsernya selama 2 tahun terakhir.

Kabar baiknya, dari laporan tersebut menunjukkan bahwa Eropa semakin beralih ke tenaga surya dan angin untuk menghasilkan listrik.




(khq/fds)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads