Apakah detikers ada yang suka memakai baju warna ungu? Jika iya, hal ini akan berbeda sikap ketika zaman Romawi dulu. Sebab, memakai baju warna ungu pada zaman Romawi kuno bisa berujung ke hukuman. Kenapa ya?
Di negara Romawi Kuno, warna ungu menjadi sesuatu yang sering diperdebatkan oleh masyarakat, mulai dari rakyat jelata hingga para kaisar. Warna ungu seolah memiliki kekuatan tersendiri yang mampu membuat penggunanya mendapatkan hukuman.
Di sisi lain, warna ungu menjadi warna yang paling sulit dan mahal untuk diproduksi pada zaman Romawi kuno, terutama ungu tyrian yang cerah dan mencolok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ungu tyrian adalah pewarna yang diekstraksi dari kerang murex, sejenis siput laut. Terdapat 2 jenis cangkang bekicot murex yang digunakan sebagai pewarna oleh orang Roma, yaitu siput Murex trunculus dan Murex brandaris.
Untuk membuat satu ons pewarna ungu membutuhkan ribuan siput. Meski harus melakukan jerih payah ini, orang Romawi tidak merasa sia-sia mengumpulkannya. Karena warna ungu subur yang tercipta, tidak pudar di bawah sinar matahari dan seringkali bernilai lebih dari emas.
Sebuah Pernyataan Politik dan Melanggar Undang-Undang
Meskipun warna ungu tidak memiliki banyak makna budaya dalam budaya Barat, di Romawi Kuno, memakai warna ungu adalah pernyataan politik. Jika orang yang salah memakai warna ungu, ada konsekuensinya.
Di zaman kuno, ungu tyrian menjadi warna yang paling dicari karena proses pembuatannya yang ekstensif. Hal ini menaikkan harganya dan membatasi hingga orang mampu saja yang bisa membeli warnanya.
Warna ungu pun kemudian dikaitkan dengan kekuasaan dan prestise. Para kaisar juga mulai mengenakan toga ungu. Namun, seiring berjalannya waktu, warna ungu mulai digunakan oleh rakyat jelata.
Peristiwa ini pun mengganggu masyarakat kelas atas Romawi hingga keluarlah keputusan membuat undang-undang seputar penggunaan warna ungu.
Roma mengeluarkan undang-undang untuk mengatur penggunaan warna ini agar hanya dipakai oleh elit Romawi. Undang-undang Sumptuary yaitu undang-undang yang mengatur konsumsi warna ungu dan menjaga moralitas masyarakat, hingga mempertahankan perbedaan antara kelas sosial.
Kuatnya fenomena kepercayaan bangsa Romawi kuno dalam memanjakan kemewahan secara berlebihan, menjadi hal yang mengkhawatirkan.
Pemerintah sampai membuat beberapa undang-undang yang melarang warga negara biasa, mengonsumsi makanan atau barang tertentu yang terbuat dari bahan tertentu dan memperkuat hierarki sosial.
Selain itu juga menggolongkan orang-orang yang boleh mengenakan warna ungu dan kadarnya dalam pakaian.
Warna Ungu dan Kekuasaan Romawi Kuno
Setelah dikeluarkannya undang-undang penggunaan warna ungu, kemudian Senator Romawi memiliki hak istimewa untuk mengenakan jubah dengan garis ungu tyrian.
Beberapa elit juga mengenakan toga praetexta, yaitu jubah dengan pinggiran ungu. Saat merayakan kemenangan para jenderal Romawi, mereka sering mengenakan toga picta, yaitu jubah khusus yang berwarna ungu keseluruhan dengan aksen emas.
Berawal dari sini, kemudian warna ungu menjadi simbol kaisar. Bahkan Julius Caesar adalah kaisar pertama yang mengenakan toga purpurea, yaitu jubah yang benar-benar seluruhnya berwarna ungu.
Pada abad ke-5 Masehi, kombinasi sutra dan ungu dianggap indah. Sampai pada tahun 222-235 Masehi, Alexander Severus kemudian memproduksi kain tersebut dan melakukan monopoli.
Pakaian sutra ungu yang dihasilkan disebut kekolumena dan hanya boleh dikenakan oleh kaisar atau diberikan sebagai hadiah. Namun, pemujaan dan status terhadap warna ungu berakhir setelah jatuhnya Konstantinopel.
Hukuman bagi Pelanggar Warna Ungu
Karena warna ungu pada pakaian zaman Romawi kuno begitu menggoda orang lain. Hal ini membuat banyak orang berakhir memakainya dan mendapatkan konsekuensi.
Pelanggarnya dikenai hukuman yang berbeda-beda, tapi sebagian besar sanksi yang diberikan bersifat finansial dan hukum sosial di masyarakat.
Terdapat hukuman yang lebih berat untuk tindakan politik yang menentang kaisar. Hukumannya dapat berupa penyitaan properti, hak milik, bahkan kematian.
Kekuatan Simbolisme Warna Ungu
Sementara itu, simbolisme warna ungu juga merambah ke karya seni zaman Romawi kuno. Warna ungu bukan sekadar pakaian, melainkan juga karya seni seperti patung, perkamen, dan potret mosaik.
Warna ungu ini juga dimasukkan ke beberapa monumen kekaisaran. Ada pula patung marmer porfiri yang dibuat karena memiliki warna ungu yang mirip dengan ungu tyrian.
Tak jarang, terdapat perkamen yang diwarnai ungu. Contoh teks berwarna ungu adalah Codec Rossano, yang saat ini masih bertahan di Kekaisaran Romawi.
Meskipun zaman Romawi kuno mengalami kelangkaan warna ungu akibat dijadikan simbol status sosial dan kekuasaan, saat ini masyarakat sudah tidak berpikir dua kali untuk mengenakan warna ungu.
Dikutip dari NBC News, mantan Presiden Rumania, Traian Basescu dan para pembantunya,diketahui mengenakan pakaian berwarna ungu pada hari-hari tertentu yang konon katanya dapat mengusir kejahatan.
(faz/faz)